Bangsa yang Tidak Menulis: Kenapa Indonesia Dulu Jarang Mencatat Sejarah Dunia

Ilustrasi Ai Oleh Editor Aksara Merdeka

Setiap bangsa memiliki cara berbeda dalam mengenang masa lalunya. Ada yang menulisnya di batu, ada yang melagukannya dalam puisi, dan ada yang hanya mengisahkannya dari mulut ke mulut. Indonesia termasuk yang terakhir.

Meski kaya akan budaya dan peradaban, bangsa ini jarang mencatat sejarah bangsa lain secara detail. Bukan karena tidak mampu, melainkan karena tradisi pencatatan sejarah di Nusantara berakar dari nilai dan fungsi yang berbeda dibandingkan bangsa-bangsa besar lainnya.

1. Sejarah sebagai Ingatan Kolektif, Bukan Dokumen Formal

Masyarakat Nusantara sejak dahulu tidak memandang sejarah sebagai urutan waktu atau laporan peristiwa, melainkan sebagai penjaga identitas dan moral leluhur. Sejarah di Nusantara lahir dari bentuk kesenian, kisah, dan spiritualitas — bukan dari kronik resmi kerajaan seperti di Tiongkok atau Eropa.

Contohnya, Babad Tanah Jawi, Negarakertagama, Hikayat Hang Tuah, atau Serat Centhini bukan sekadar catatan peristiwa, melainkan perpaduan antara mitos, nilai, dan legitimasi kekuasaan. Dalam naskah-naskah itu, tokoh sejarah bisa berbaur dengan legenda, karena yang dijaga bukan fakta, tapi makna moral di balik peristiwa.

“Di Nusantara, sejarah bukan sekadar catatan waktu, melainkan cermin nilai dan martabat.”

2. Berbeda Arah dari China dan Arab

Bangsa Tiongkok sejak ribuan tahun lalu sudah memiliki tradisi dokumentasi ketat. Setiap dinasti wajib mencatat cuaca, perang, bencana, hingga perilaku pejabat. Sementara bangsa Arab memiliki sistem sanad dan periwayatan hadist yang luar biasa ketat, sehingga setiap informasi memiliki rantai keaslian.

Sedangkan di Nusantara, pencatatan bersifat pribadi dan spiritual, bukan administratif. Kalau kerajaan hancur, catatannya ikut hilang. Akibatnya, banyak kisah besar di Asia Tenggara justru diketahui lewat catatan bangsa Tiongkok, Portugis, dan Arab, bukan dari bangsa kita sendiri.

Baca juga: Ketika Jepang Mengaku Saudara Tua: Cara Cerdas Founding Fathers Memanfaatkan Penjajahan

3. Pencatat Ada, Tapi Tidak Fokus pada Dunia Luar

‎Beberapa cendekiawan Nusantara sebenarnya menulis tentang dunia luar, tapi bukan dalam konteks politik global.
‎Contohnya:

‎Abdurrauf as-Singkili dan Nuruddin ar-Raniri menulis pengaruh Islam dari Arab dan India.

‎Hamzah Fansuri banyak mengisahkan perjalanan spiritual lintas negeri.
‎Namun fokus mereka bukan “mencatat bangsa lain,” melainkan menyatukan ilmu dan nilai Islam dengan jiwa Nusantara.


‎Jadi, meski hubungan dagang dan diplomasi dengan bangsa lain sangat luas,
‎rasa ingin tahu kita lebih diarahkan ke dimensi rohani dan kebudayaan, bukan pencatatan fakta-fakta kronologis.

4. Mengapa Tidak Terbentuk Tradisi Sejarah Dunia?

Ada tiga sebab utama mengapa bangsa Indonesia dulu jarang mencatat sejarah bangsa lain:

1. Nilai Spiritual Lebih Diutamakan
Orang zaman dulu lebih sibuk menjaga harmoni hidup dan makna, bukan menyusun urutan waktu.

2. Tidak Ada Lembaga Dokumentasi Resmi
Berbeda dengan Tiongkok yang punya istana khusus pencatat sejarah, kerajaan di Nusantara tidak memiliki fungsi itu secara formal.

‎3. Kecenderungan Lisan dan Simbolik
Cerita disampaikan lewat pantun, tembang, dan naskah simbolik.
Ketika kolonial datang, tradisi lisan ini tidak tercatat di arsip mereka, sehingga seolah bangsa kita “tidak punya catatan.”

“Bangsa yang tidak menulis sejarahnya akan ditulis oleh orang lain — dan belum tentu sesuai dengan kenyataannya.”

5. Pelajaran untuk Bangsa Modern

Kini, kita hidup di zaman di mana setiap orang bisa menulis dan mendokumentasikan apa pun. Namun semangatnya tetap sama: bukan sekadar mencatat, tapi memberi makna. Bangsa ini butuh lebih banyak penulis, sejarawan, dan pemikir yang menulis dari sudut pandang Indonesia sendiri. Karena selama kita diam, sejarah bangsa ini akan terus diceritakan dari lensa bangsa lain.

“Menulis sejarah bukan hanya mengenang masa lalu, tetapi memastikan suara bangsa ini tidak hilang di tangan bangsa lain.”

6. Kesimpulan

Indonesia dulu jarang mencatat sejarah bangsa lain bukan karena ketiadaan ilmu, melainkan karena perbedaan cara pandang terhadap makna sejarah itu sendiri. Jika bangsa lain menulis untuk mengenang kemenangan dan kekuasaan, kita menulis untuk menjaga nilai, moral, dan harmoni.

Namun zaman telah berubah. Kini, menulis adalah bagian dari perjuangan. Dan sebagaimana leluhur kita menjaga identitasnya melalui kisah dan tembang, kita hari ini bisa menjaga martabat bangsa melalui tulisan dan catatan digital.

Baca juga: Belajar dari China: Ketekunan Membaca, Menulis, dan Mewariskan Ilmu Antar Generasi

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses

Scroll to Top