
Ilustrasi Ai Oleh Editor Aksara Merdeka
Setiap kali Al-Qur’an menyinggung tentang seorang raja, kisah yang muncul jarang diiringi pujian. Yang terdengar justru nada peringatan kisah tentang Fir’aun yang menuhankan diri, Namrud yang menantang langit, dan raja kaum ‘Ad yang memahat istana tinggi tapi melupakan Tuhan.
Mengapa kitab suci sekeras itu terhadap para raja? Apakah Islam menolak sistem kerajaan?Ataukah ada pesan yang lebih halus di balik teguran keras itu?
Kekuasaan: Cermin Nafsu dan Kebesaran Manusia
Kekuasaan selalu memantulkan dua wajah: rahmat atau laknat. Ia bisa menjadi sarana keadilan, tapi juga sumber kezaliman. Di tangan orang beriman, kekuasaan menjadi alat menegakkan kebenaran.
Namun di tangan mereka yang mabuk dunia, tahta berubah menjadi berhala, diperjuangkan mati-matian, bahkan dengan menindas sesama. Al-Qur’an tidak sedang menolak kekuasaan. Yang dikritik adalah manusia yang menjadikan kekuasaan sebagai tuhan baru.
“Pergilah kepada Fir’aun, sesungguhnya ia telah melampaui batas.” (QS. Ta-Ha: 24)
Fir’aun bukan hanya nama seorang penguasa, melainkan simbol dari kesombongan politik, seseorang yang lupa bahwa kekuasaan hanyalah pinjaman singkat dari Tuhan.
Sistem Bukan Musuh, Tapi Sifat Manusialah yang Diuji
Dalam Al-Qur’an, tidak ada satu pun ayat yang menyebut bahwa monarki atau republik lebih baik dari yang lain. Yang ditekankan justru nilai-nilai kepemimpinan: keadilan, amanah, dan ketundukan kepada Allah.
Ketika kekuasaan absolut tidak diimbangi ketakwaan, yang lahir adalah kesewenang-wenangan. Sistem kerajaan bukan akar masalahnya, manusialah yang sering gagal menahan diri dari godaan tahta dan pujian.
“Sesungguhnya manusia itu zalim dan bodoh.”— (QS. Al-Ahzab: 72)
Zalim bukan karena gelarnya, tapi karena tidak mampu membedakan mana kekuasaan dan mana pengabdian.
Al-Qur’an: Bukan Menolak Raja, Tapi Menolak Ketuhanan Raja
Fir’aun berkata:
“Akulah tuhanmu yang paling tinggi.”— (QS. An-Nazi’at: 24)
Kalimat itu adalah puncak kehancuran moral penguasa: ketika seseorang mengira bahwa rakyat, hukum, bahkan Tuhan harus tunduk padanya. Di sinilah letak kritik Al-Qur’an: Bukan karena raja itu berkuasa, tapi karena ia menggantikan posisi Tuhan di dalam hati dan sistemnya.
Itu sebabnya, di sisi lain, Al-Qur’an juga menampilkan raja yang berbeda, seperti Nabi Daud dan Nabi Sulaiman, yang justru menjadikan kekuasaan sebagai sarana ibadah. Artinya, bukan kekuasaan yang kotor, tetapi niat di baliknya yang menentukan apakah singgasana itu menjadi surga atau neraka.
Tahta, Dusta, dan Keabadian yang Dikejar Manusia
Sejak dulu manusia tergoda oleh tiga hal: harta, tahta, dan wanita.Tetapi tahta adalah yang paling licin. Ia memberi rasa kekuasaan seperti Tuhan, tapi dalam waktu singkat bisa merampas kemanusiaan seseorang. Al-Qur’an seolah ingin berkata:
Lihatlah sejarah. Semua raja yang melampaui batas akhirnya hancur bukan oleh musuh, tapi oleh dirinya sendiri.”
Kehancuran Fir’aun bukan karena kekuatan Musa, tapi karena kesombongan yang menenggelamkan akalnya. Namrud tidak kalah oleh pasukan, tapi oleh seekor nyamuk yang Allah kirim untuk menghancurkan keangkuhannya. Itulah cara halus Al-Qur’an menegur: Kekuasaan yang tidak diikat iman akan berbalik melawan pemiliknya.
Kekuasaan yang Diberkahi: Di Tangan Orang yang Tunduk
Berbeda dengan raja zalim, Nabi Daud dan Sulaiman adalah bukti bahwa kekuasaan bisa menjadi rahmat jika dijalankan dengan kesadaran spiritual. Mereka tidak berkata, “Aku berkuasa,” tetapi:
Ini semua karunia dari Tuhanku.”— (QS. An-Naml: 40)
Keduanya menegakkan hukum dengan adil, memperluas kemakmuran, dan tetap sujud kepada Allah. Kerajaan mereka tidak menjadi alat kesombongan, tapi ladang ibadah.
Itulah pesan utama Al-Qur’an: Bukan bentuk sistem yang disalahkan, tetapi kesucian hati pemimpin yang menentukan arah sejarah.
Penutup: Ketika Singgasana Diuji oleh Langit
Kritik Al-Qur’an terhadap raja-raja zalim bukanlah perlawanan terhadap tahta, melainkan peringatan agar manusia tidak mabuk oleh kekuasaan.
Sebab pada akhirnya, setiap raja akan kehilangan mahkota, dan setiap manusia akan berdiri sama di hadapan Tuhan tanpa istana, tanpa pengawal, tanpa gelar.
“Kepunyaan siapakah kerajaan pada hari ini? Kepunyaan Allah Yang Maha Esa, lagi Maha Mengalahkan.”— (QS. Ghafir: 16)
Maka, jika suatu hari kekuasaan ada di tanganmu, jangan merasa menjadi raja rasakanlah dirimu sedang diuji, sebab tahta hanyalah pinjaman dari langit yang bisa dicabut kapan saja.
Baca juga: Islam Dan Meritokrasi: Kepemimpinan Berdasarkan Kemampuan, Bukan Keturunan
