
Ilustrasi Ai Oleh Editor Aksara Merdeka
Setiap kali dua insan dipersatukan dalam ikatan pernikahan, rasa syukur sudah seharusnya menjadi suasana utama. Namun di zaman sekarang, makna syukur itu kerap tertimbun oleh gemerlap pesta, tumpukan dekorasi, dan utang yang menjerat.
Padahal, jauh sebelum dunia mengenal istilah resepsi megah, Rasulullah ﷺ telah mencontohkan bentuk hajatan yang paling indah: sederhana tapi penuh berkah.
Walimah: Tradisi Nabi yang Penuh Makna
Dalam Islam, hajatan pernikahan dikenal dengan istilah walimah, yang berarti jamuan makan untuk mengumumkan pernikahan dan berbagi kebahagiaan. Rasulullah ﷺ bersabda:
“Adakanlah walimah walau hanya dengan seekor kambing.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Kalimat ini sederhana, tapi dalam maknanya. Rasulullah tidak menekankan jumlah tamu, besarnya tempat, atau kemewahan hidangan. Yang beliau tekankan adalah niat berbagi dan semangat syukur.
Walimah bukan untuk pamer, melainkan untuk menyampaikan kabar bahagia dan mengundang doa. Bukan untuk mencari pujian, melainkan memperluas rasa persaudaraan.
Kesederhanaan Rasulullah sebagai Teladan
Rasulullah ﷺ menikahkan putrinya, Fatimah az-Zahra, dengan Ali bin Abi Thalib dalam acara yang sangat sederhana. Tidak ada panggung tinggi, tidak ada pakaian mahal, dan tidak ada pesta berhari-hari. Yang ada hanyalah niat tulus, doa para sahabat, dan keberkahan rumah tangga yang langgeng.
Dalam banyak riwayat, Rasulullah ﷺ bahkan menolak gaya pesta yang berlebihan. Beliau menasihati umatnya agar tidak menjadikan walimah sebagai beban. Karena sejatinya, pernikahan adalah awal perjalanan suci, bukan puncak perlombaan sosial.
Baca juga: Hajatan Sebagai Ajang Mencari Untung
Ketika Walimah Menjadi Ajang Gengsi
Sayangnya, semangat kesederhanaan ini kini mulai pudar. Banyak keluarga yang menjadikan hajatan bukan lagi sebagai bentuk syukur, tapi sebagai panggung status sosial. Pakaian sewa berjuta-juta, dekorasi seperti istana, dan makanan berlimpah yang sebagian akhirnya terbuang percuma.
Ada keluarga yang berutang hanya agar hajatan terlihat megah. Ada pasangan yang menunda menikah karena takut tidak mampu membuat pesta “sepadan.” Padahal, Rasulullah tidak pernah mengukur cinta dari mewahnya pesta, tetapi dari niat baik dan keberkahan rumah tangga.
Islam mengajarkan keseimbangan. Bukan melarang pesta, tapi menuntun agar pesta tetap dalam batas kesyukuran, bukan kemewahan.
Hakikat Syukur dalam Walimah
Rasulullah ﷺ mendorong umatnya untuk berbagi kebahagiaan kepada orang lain terutama yang miskin, tetangga, dan kerabat. Walimah sejati justru bermakna ketika yang diundang bukan hanya mereka yang berpangkat, tetapi mereka yang jarang diajak duduk bersama.
Karena di situlah nilai Islam berdiri: keadilan dan kebersamaan. Walimah yang hanya mengundang orang kaya, tapi melupakan yang lemah, adalah pesta yang kehilangan ruh keislaman.
“Buruknya makanan walimah adalah yang hanya diundang orang kaya, sementara orang miskin dibiarkan.”
(HR. Bukhari dan Muslim)
Artinya, Islam tidak menolak kebahagiaan, tetapi menolak kesenangan yang melupakan keadilan.
Kembali ke Makna Awal: Berkah, Bukan Riuh
Jika hajatan diartikan kembali sebagai bentuk rasa syukur, maka ukuran keberhasilannya bukan dari berapa banyak tamu yang hadir, tetapi berapa banyak doa tulus yang terkumpul. Bukan dari megahnya tenda, tapi dari lapangnya hati.
Hajatan yang sederhana tapi penuh ketulusan jauh lebih bermakna di mata Allah SWT daripada pesta mewah yang dipenuhi gengsi dan hutang. Kesederhanaan bukan tanda kekurangan, tetapi tanda bahwa seseorang memahami esensi rezeki.
Refleksi untuk Generasi Sekarang
Generasi muda kini mulai sadar: pesta besar bukan jaminan bahagia. Mereka memilih menikah dengan sederhana, tanpa kredit, tanpa perhiasan berlebihan, karena yang mereka cari bukan tepuk tangan, tapi ketenangan.
Semoga kesadaran ini terus tumbuh, karena umat Islam tidak diukur dari banyaknya pesta, tetapi dari kuatnya nilai syukur dan keteguhan dalam kesederhanaan.
“Kesederhanaan tidak mengurangi kebahagiaan, justru menambah keberkahan.”
Aksara Merdeka
Baca juga: Sejarah Hajatan di Nusantara: Dari Rasa Syukur ke Lomba Kemewahan
