Benarkah Indonesia Dijajah 350 Tahun?

Ilustasi Ai Oleh Redaksi Aksara Merdeka

Kita sering mendengar kalimat yang begitu melekat di ingatan:

“Bangsa Indonesia dijajah Belanda selama 350 tahun.”

Kalimat itu diucapkan di sekolah, di pidato, bahkan di percakapan sehari-hari. Ia terdengar seperti kebenaran mutlak, seolah selama tiga setengah abad seluruh tanah Nusantara hidup dalam bayang-bayang penjajahan.

Namun, jika kita menelusuri sejarah dengan lebih jernih, akan tampak bahwa angka 350 tahun bukan fakta kronologis, melainkan simbol penderitaan yang panjang — sebuah metafora sejarah yang perlu kita pahami dengan nurani, bukan sekadar hafalan.

Awal Kedatangan Belanda: Dari Laut Jauh Menuju Tanah Rempah (1602)

Ceritanya dimulai di awal abad ke-17. Eropa kala itu sedang mabuk rempah-rempah. Lada, cengkih, dan pala menjadi barang mewah yang nilainya setara emas. Belanda, yang baru merdeka dari Spanyol, ingin ikut berburu harta dari Timur.

Pada 1602, mereka membentuk VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie) — sebuah kongsi dagang yang diberi kekuasaan luar biasa: boleh berperang, membuat perjanjian, bahkan mencetak uang. Bayangkan, sebuah perusahaan yang punya kekuatan seperti negara.

VOC datang ke Banten, Jayakarta (Jakarta sekarang), lalu membangun pusat kekuasaan di Batavia pada 1619 setelah menghancurkan kota itu. Dari sana, mereka memperluas cengkeraman ke Ambon, Banda, dan Maluku — pusat rempah dunia.

Namun, perlu dicatat: pada masa itu VOC tidak menguasai seluruh Nusantara. Banyak wilayah masih merdeka — Aceh, Mataram, Ternate, Makassar, Bali, Lombok, dan daerah-daerah lain masih berdiri dengan pemerintahan sendiri.

Jadi, sejak awal abad ke-17, Belanda memang hadir di Nusantara, tapi kekuasaannya masih terbatas — lebih tepat disebut perdagangan bersenjata daripada penjajahan penuh.

Dari Perdagangan ke Penjajahan: VOC yang Berubah Wajah

VOC datang dengan dalih dagang, tapi cepat berubah menjadi penguasa yang rakus. Mereka menerapkan monopoli rempah, memaksa rakyat menjual murah, dan menindas siapa pun yang menolak.

Tahun 1621 di Kepulauan Banda, ribuan rakyat dibantai karena menolak menjual pala dengan harga rendah. VOC menanamkan kekuasaan dengan darah dan ketakutan.

Namun, di balik kekejaman itu, ada ironi besar: VOC bukan negara, melainkan perusahaan swasta yang hanya mengejar keuntungan. Dan seperti perusahaan rakus lainnya, mereka akhirnya tumbang oleh keserakahan sendiri.

Pada 1799, VOC resmi bangkrut. Korupsi, utang, dan perang membuat mereka runtuh. Seluruh asetnya termasuk wilayah jajahan diambil alih oleh pemerintah Belanda. Sejak saat itulah, penjajahan resmi dimulai.

Baca juga: Ketika Jepang Mengaku Saudara Tua: Cara Cerdas Founding Fathers Memanfaatkan Penjajahan

Hindia Belanda: Penjajahan Formal oleh Negara (1799–1942)

Ketika VOC bubar, Belanda membentuk Hindia Belanda (Nederlandsch-Indië). Inilah masa di mana penjajahan dilakukan langsung oleh kerajaan Belanda.

Namun, sama seperti VOC, kekuasaan mereka juga tidak langsung menyeluruh. Pada awal abad ke-19, Belanda hanya kuat di Jawa dan sebagian Sumatra. Kerajaan-kerajaan lain masih berdiri dan melakukan perlawanan sengit:

  • Perang Padri di Sumatra Barat.
  • Perang Diponegoro di Jawa.
  • Perang Banjar di Kalimantan.
  • Perang Aceh yang berlangsung hampir 30 tahun.
  • Dan perlawanan rakyat di Bali, Lombok, serta Sulawesi.

Baru sekitar tahun 1914, setelah menaklukkan Aceh dan Bali, Belanda benar-benar menguasai hampir seluruh wilayah yang kini menjadi Indonesia.

Jadi, kalau dihitung secara de jure, masa penjajahan formal Hindia Belanda adalah dari 1799 hingga 1942 — sekitar 143 tahun, bukan 350 tahun.

Jadi, dari Mana Asal Angka 350 Tahun?

Angka “350 tahun” muncul pertama kali dalam retorika perjuangan nasional pada masa Sukarno.Itu bukan data statistik, tapi simbol penderitaan panjang rakyat Nusantara.

Karena walau secara politik kita belum bernama “Indonesia”, secara sosial dan ekonomi rakyat Nusantara memang hidup dalam sistem kolonial yang menindas selama berabad-abad.

Dari masa VOC yang memeras rempah,hingga masa tanam paksa yang memeras tenaga, bangsa ini telah lama dijajah — bukan hanya oleh kekuasaan asing, tapi juga oleh rasa takut dan ketidakberdayaan.

Jadi, benar: kita dijajah 350 tahun.Tapi bukan dalam arti kalender — dalam arti luka batin sejarah.

Kita Pernah Dijajah, Tapi Tidak Pernah Kalah

Setiap masa penjajahan melahirkan perlawanan:

  • Sultan Hasanuddin di Makassar.
  • Sultan Agung di Mataram.
  • Cut Nyak Dien dan Teuku Umar di Aceh.
  • Pangeran Diponegoro di Jawa.
  • Dan ribuan pejuang tanpa nama di seluruh pelosok negeri.

Mereka kalah secara senjata, tapi menang secara harga diri. Karena bangsa ini selalu punya daya hidup yang sulit dipadamkan.

“Kita bukan bangsa yang kalah.Kita hanya bangsa yang sabar menunggu waktu merdeka.”

Sejarah Bukan Luka, Tapi Cermin

Kini, 350 tahun itu sudah berlalu.Tapi penjajahan tak selalu datang dengan bendera asing. Kadang ia datang dalam bentuk ketamakan ekonomi, korupsi kekuasaan, dan ketidakadilan sosial.

Sejarah mengajarkan satu hal penting:

Bangsa yang dulu dijajah karena rempah, jangan sampai dijajah lagi karena lupa pada jati dirinya.

Kemerdekaan sejati bukan sekadar tanggal di kalender, tapi kesadaran untuk tidak diperbudak oleh keserakahan dan kebodohan.

Penutup

“350 tahun hanyalah angka.Tapi di baliknya ada kisah tentang kesabaran, kecerdikan, dan keuletan bangsa yang tak pernah padam harapannya.”

Aksara Merdeka

Baca juga: Dari Raden Wijaya ke Para Pendiri Bangsa: Memperdaya Penjajah demi Kemerdekaan

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses

Scroll to Top