Dari Candi ke Konten Receh: Evolusi Jiwa Artistik Bangsa

Ilustrasi Ai Oleh Editor Aksara Merdeka

Pramoedya Ananta Toer pernah menulis bahwa bangsa Indonesia memiliki imajinasi yang kaya dan daya artistik yang kuat. Imajinasi itu melahirkan cerita, seni, dan karya budaya yang menyeberangi zaman. Bagi Pramoedya, imajinasi adalah sumber daya tidak terbatas yang membentuk peradaban.

Namun Mochtar Lubis, dalam esai tajam Manusia Indonesia (1977), memberi peringatan: bangsa ini juga punya sisi gelap, yakni lebih suka mistik, seni, dan kesenangan sesaat ketimbang berpikir rasional dan bertanggung jawab.

Dua pandangan kontras itu seolah berpadu dalam wajah bangsa hari ini. Jiwa artistik Indonesia masih hidup, tetapi ekspresinya berubah drastis: dari karya agung bernilai abadi menjadi konten receh yang viral sekejap di media sosial.

Evolusi ini bukan sekadar perpindahan medium, melainkan pergeseran nilai dalam berkesenian.

Jiwa Artistik Leluhur: Monumen dan Filosofi

Sejarah mencatat bagaimana leluhur kita melahirkan karya monumental yang menjadi bukti peradaban tinggi sekaligus sistem nilai yang mendalam. Candi Borobudur dan Candi Prambanan, misalnya, bukan sekadar bangunan, melainkan manifestasi kolektif dari filosofi dan spiritualitas bangsa.

Relief-relief Borobudur tidak hanya ukiran indah, tetapi juga kitab visual: narasi moral, ajaran Buddha, dan kosmologi masyarakat kala itu. Seni berfungsi sakral sekaligus edukatif, jalan memahami hidup, kematian, dan hubungan manusia dengan semesta.

Kecanggihan jiwa artistik leluhur juga tampak dalam penguasaan seni logam dan teknologi tempa. Gamelan, misalnya, bukan sekadar seperangkat alat musik, melainkan hasil teknologi metalurgi tingkat tinggi.

Jauh sebelum Eropa mengenal notasi modern, nenek moyang kita sudah mampu mengolah perunggu dan kuningan untuk menciptakan paduan nada presisi dengan tangga nada kompleks.

Demikian pula keris, perpaduan seni pahat, filosofi, dan teknologi tempa lapis baja (pamor). Semua itu menandakan bahwa jiwa artistik bangsa ini pernah melahirkan karya monumental yang lahir dari ketekunan, perencanaan matang, dan visi jangka panjang. Seni kala itu adalah investasi peradaban.

Baca juga: Keris dan Batu Meteor: Antara Langit, Logam, dan Spiritualitas

Seni Instan di Era Algoritma

Kini mari tengok ekspresi kesenian kontemporer. Jiwa artistik bangsa masih ada, tetapi banyak tumpah ruah dalam gelombang konten receh di layar smartphone: meme yang dibuat dalam hitungan menit, parodi singkat, potongan video viral, hingga drama kehidupan selebritas yang ditonton berjuta-juta kali.

Di satu sisi, ini bukti bahwa kreativitas spontan rakyat Indonesia tidak pernah mati. Panggung rakyat bukan lagi lapangan desa dengan wayang atau lenong, melainkan linimasa TikTok, Twitter, dan Instagram.

Dari hal sepele pun, lahir hiburan yang menggelitik saraf tawa. Ekspresi ini sangat demokratis, siapa pun bisa jadi seniman sekaligus penikmat. Namun di sisi lain, ekspresi artistik ini jelas mengalami penurunan kelas.

Dari monumen yang didirikan untuk keabadian, kini menjelma menjadi meme yang cepat diproduksi, cepat dikonsumsi, lalu cepat pula dilupakan, ditelan algoritma dalam 24 jam.

Jiwa artistik masih ada, tetapi sering terjebak dalam pola asupan instan bagi otak: mudah dibuat, mudah viral, mudah hilang. Seni yang dulunya lahir dari perenungan kini bergeser menjadi sekadar strategi engagement.

Risiko “Brain Rot” di Tengah Kesenangan Sesaat

Apakah konten receh itu salah? Tidak sepenuhnya. Seni canda adalah bagian dari seni rakyat kontemporer. Ia bisa menjadi ruang ekspresi, kritik sosial terselubung, bahkan terapi kolektif di tengah tekanan hidup. Dalam hal ini, receh bukan murahan tetapi bukti bahwa jiwa artistik bangsa tetap hidup, hanya beradaptasi.

Namun masalah muncul ketika seluruh energi kreatif bangsa hanya diarahkan pada konten instan berumur pendek. Di sinilah peringatan Mochtar Lubis relevan: kita rawan terjebak dalam kesenangan sesaat, lebih suka hiburan instan daripada melahirkan karya yang memerlukan kedalaman.

Konten receh memang menyenangkan, tapi jika mendominasi, ia bisa melahirkan kondisi yang disebut brain rot: otak terbiasa dengan rangsangan dangkal, cepat, dan minim substansi. Masyarakat pun kehilangan kemampuan menikmati, apalagi menciptakan karya bernilai tinggi. Kreativitas jadi korban kecepatan.

Memastikan Jiwa Artistik Tetap Monumental

Dari candi megah hingga gamelan yang presisi, leluhur kita membuktikan bahwa bangsa ini mampu melahirkan karya agung yang dikenang lintas generasi. Kini, ekspresi artistik lebih banyak hadir dalam bentuk konten receh yang berseliweran di linimasa. Jiwa artistik tidak hilang, ia hanya berubah wajah.

Perubahan ini seharusnya menjadi cermin. Apakah kita puas jika imajinasi kolektif bangsa hanya menghasilkan konten receh yang viral sekejap, lalu lenyap tanpa jejak? Atau kita ingin jiwa artistik itu kembali melahirkan karya monumental baik fisik maupun digital yang bisa menjadi kebanggaan Indonesia di era modern?

Pramoedya menunjukkan bahwa imajinasi adalah kekuatan terbesar bangsa ini. Mochtar Lubis mengingatkan agar imajinasi itu tidak berhenti pada mistik dan kesenangan sesaat.

Tugas kita adalah memastikan jiwa artistik bangsa tidak hanya berhenti di level receh, tetapi juga mampu memadukan spontanitas era digital dengan kedalaman filosofi masa lalu. Dengan begitu, bangsa ini dapat kembali melahirkan karya-karya besar yang bermakna panjang bagi peradaban

Baca juga: Gamelan dan Bukti Kecanggihan Metalurgi Leluhur

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses

Scroll to Top