Demokrasi dan Hukum Tuhan: Jalan Tengah Menuju Indonesia Berkah

Ilustrasi Ai Oleh Editor Aksara Merdeka

1. Pendahuluan: Demokrasi dan Krisis Moral Hukum

Indonesia adalah negara demokrasi. Dalam teori dan praktiknya, demokrasi memberi ruang bagi rakyat untuk memilih pemimpinnya, menyuarakan pendapat, dan berpartisipasi dalam perumusan hukum yang berlaku. Namun di tengah euforia kebebasan ini, muncul pertanyaan besar yang sering diabaikan:

“Apa dasar moral dari hukum yang kita rumuskan?”

Di satu sisi, bangsa ini dikenal religius. Mayoritas penduduk Indonesia beragama Islam dan meyakini Al-Qur’an sebagai sumber hukum tertinggi. Namun di sisi lain, banyak produk hukum dan kebijakan yang lahir justru jauh dari nilai-nilai ketuhanan.

Tidak sedikit undang-undang yang melegalkan maksiat, membiarkan kezaliman, atau menjadi alat segelintir elite untuk menindas rakyat kecil.

Apakah ini kontradiksi yang tak bisa disatukan? Ataukah demokrasi Indonesia masih bisa diarahkan menjadi demokrasi yang beradab—yang menjadikan hukum Tuhan sebagai kompas moral utama?

2. Demokrasi Tanpa Arah Moral

2.1. Bahaya Relativisme dalam Demokrasi

Demokrasi tanpa nilai adalah mesin kekacauan. Ketika hukum hanya mengikuti suara mayoritas tanpa mempertimbangkan benar atau salah, maka hukum berubah-ubah sesuai selera politik. Inilah yang disebut para filsuf modern sebagai relativisme moral hukum.

Contohnya mudah ditemukan. Judi online yang nyata-nyata merusak moral dan ekonomi keluarga masih dibiarkan. Prostitusi terselubung ditoleransi. Korupsi seolah menjadi budaya. Ironisnya, orang yang menyerukan hukum Tuhan justru sering dicap sebagai radikal atau intoleran.

2.2. Demokrasi Sejati dan Suara Tuhan

Padahal, demokrasi yang sehat semestinya menjadikan suara Tuhan sebagai suara hati rakyat. Demokrasi bukan berarti menolak agama, melainkan membuka ruang agar nilai-nilai ilahiah diperjuangkan secara sadar oleh rakyat melalui sistem yang ada.

Baca juga: Menjaga NKRI Dari Perang Narasi

3. Hukum Tuhan: Cermin Keadilan Sejati

Islam meletakkan keadilan sebagai inti dari hukum Tuhan. Allah berfirman dalam QS. An-Nahl ayat 90:

“Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan melarang dari perbuatan keji, mungkar dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran.”

Ayat ini bukan sekadar ajaran moral, tetapi pilar hukum sosial. Islam tidak hanya mengatur ibadah pribadi, tetapi juga perdagangan, warisan, politik, dan tata kelola negara. Prinsip dasarnya adalah menjaga lima hal pokok (maqashid syariah): agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta.

Judi dilarang karena merusak harta, akal, dan keharmonisan keluarga. Korupsi dilarang karena merampas hak rakyat. Zina dilarang karena merusak garis keturunan dan tatanan sosial.

Dengan demikian, hukum Tuhan bukanlah ancaman kebebasan, melainkan jaminan keadilan universal yang selaras dengan fitrah manusia.

4. Peran Rakyat: Dari Pasif ke Aktif

4.1. Demokrasi sebagai Amanah

Dalam sistem demokrasi, hukum dirumuskan dan diubah oleh wakil rakyat. Artinya, rakyatlah pemegang kunci utama. Jika rakyat diam dan tidak peduli, maka hukum akan terus lahir dari tangan-tangan yang hanya mementingkan diri sendiri.

4.2. Kewajiban Rakyat yang Beriman

Jika mayoritas rakyat menginginkan hukum Tuhan ditegakkan secara konstitusional dan beradab, maka wakil rakyat pun akan mengikuti. Sebaliknya, jika rakyat terbuai hiburan dangkal dan abai terhadap agamanya, maka demokrasi hanya akan melahirkan pemimpin yang pandai bersandiwara.

Ulama dan cendekiawan muslim memiliki peran penting untuk membimbing umat—agar tidak hanya religius secara ritual, tetapi juga sadar secara konstitusional. Umat harus menjadi pemilih yang cerdas dan memperjuangkan nilai-nilai ilahiah dalam ruang politik.

5. Kompilasi Hukum Islam: Sebuah Jalan Tengah

5.1. Fondasi yang Sudah Ada

Indonesia telah memiliki Kompilasi Hukum Islam (KHI) dalam urusan perdata seperti warisan dan pernikahan. Ini merupakan langkah awal yang baik dan konstitusional.

5.2. Ruang untuk Diperluas

Ke depan, perlu keberanian untuk memperluas jangkauan KHI agar mencakup urusan pidana, ekonomi, dan sosial, dengan tetap mempertimbangkan konteks kebangsaan dan keberagaman.
Para pakar hukum Islam dan konstitusi bisa bersinergi merumuskan hukum berjiwa syariah dalam bingkai demokrasi.

Beberapa negara seperti Maroko, Tunisia, dan Malaysia telah lebih dulu mempraktikkan model serupa—menyatukan hukum modern dan nilai-nilai Islam tanpa menimbulkan konflik sosial.

6. Kesimpulan: Demokrasi Ber-Tuhan, Bukan Teokrasi

Indonesia tidak harus menjadi negara teokrasi. Namun Indonesia bisa, dan seharusnya, menjadi negara demokrasi ber-Tuhan—negara yang menjadikan hukum Tuhan sebagai inspirasi, bukan ancaman.

Negara yang melindungi rakyat dengan hukum yang adil, bukan yang permisif dan membiarkan kerusakan. Agar itu terwujud, pemimpin Indonesia haruslah sosok yang bukan hanya cerdas secara teknokratik, tapi juga takut kepada Tuhan dan cinta kepada rakyat.

Dan rakyat pun harus sadar bahwa suaranya bukan sekadar untuk memilih, tetapi untuk memperjuangkan nilai-nilai suci agar hukum yang lahir menjadi cerminan nurani bangsa.

Demokrasi yang dipandu oleh nilai ilahiah bukanlah ilusi.
Ia adalah jalan tengah terbaik antara kebebasan dan keadilan.

Baca juga: Kelemahan Demokrasi: Mengapa Rakyat Cerdas Menetukan Masa Depan Bangsa

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses

Scroll to Top