
Demokrasi adalah sistem yang menawarkan harapan besar: rakyat memilih pemimpin terbaik, pemerintahan berjalan transparan, dan kekuasaan dapat dikontrol. Namun dalam kenyataannya, demokrasi modern sering gagal melahirkan pemimpin berkualitas. Banyak negara termasuk Indonesia sering terjebak pada pemimpin yang populis, dangkal, tidak kompeten, atau bahkan koruptif.
Mengapa hal ini terjadi? Mengapa sebuah sistem yang ideal justru kerap menghasilkan pemimpin yang jauh dari kata ideal?
Artikel ini membahas beberapa akar masalah utamanya.
1. Demokrasi Berjalan di Atas Persepsi, Bukan Kompetensi
Dalam demokrasi, rakyat memilih berdasarkan apa yang mereka lihat, bukan apa yang sebenarnya terjadi. Pemimpin yang:
- Pandai bicara
- Tampil meyakinkan di kamera
- Aktif di media sosial
- Jago membangun citra
Lebih mudah menang daripada sosok yang tenang, bekerja diam-diam, dan minim panggung. Sistem demokrasi menilai “siapa yang lebih disukai”, bukan “siapa yang lebih mampu”. Akibatnya, kualitas kepemimpinan sering dikalahkan oleh kualitas pencitraan.
2. Politik Uang Masih Menjadi Realitas Pahit
Sehebat apa pun sistem demokrasi di atas kertas, jika rakyat masih mudah dipengaruhi uang, maka kualitas pemimpin akan jatuh.
Di banyak daerah, uang, sembako, transfer saldo, dan bantuan menjelang pencoblosan masih sangat mempengaruhi pilihan politik.
Ini menciptakan siklus buruk: uang → kekuasaan → proyek → uang lagi. Kualitas pemimpin menjadi korban.
3. Politik Identitas Menutupi Akal Sehat
Salah satu masalah terbesar demokrasi modern adalah politik identitas. Banyak orang memilih pemimpin bukan karena kemampuan atau rekam jejak, tetapi karena faktor kedekatan identitas seperti suku, daerah asal, atau kelompok sosial.
Sentimen emosional lebih kuat daripada pertimbangan rasional. Pemimpin yang seharusnya dipilih karena prestasinya akhirnya kalah oleh figur yang pandai memainkan emosi massa. Demokrasi pun berubah menjadi arena adu sentimen, bukan adu gagasan.
4. Pemilih Tidak Mendapat Informasi yang Jujur
Kualitas pilihan politik sangat bergantung pada kualitas informasi yang diterima rakyat. Namun saat ini, media sering dipengaruhi kepentingan pemilik, sementara media sosial dipenuhi buzzer, hoaks, framing, dan kampanye hitam.
Rakyat membuat keputusan berdasarkan gambaran yang sudah direkayasa pihak tertentu, bukan berdasarkan fakta yang jernih. Akibatnya, pemimpin berkualitas bisa kalah sebelum benar-benar bertanding karena informasi objektif sulit diakses.
5. Partai Politik Tidak Selektif Mencetak Kader
Partai politik seharusnya menjadi tempat mencetak pemimpin berkualitas, tetapi di banyak negara berkembang, yang terjadi justru sebaliknya. Mereka yang punya uang atau relasi kuat lebih cepat naik, sementara kader kritis dan idealis sering disingkirkan.
Partai lebih berfungsi sebagai kendaraan kekuasaan daripada lembaga pendidikan politik. Jika hulunya tidak bersih, sulit berharap muncul pemimpin yang bersih dari hilirnya.
Baca juga: Mengapa Pemimpin Baik Selalu Tersingkir?
6. Demokrasi Menyukai Hal yang Populer, Bukan Hal yang Benar
Banyak kebijakan penting seperti reformasi hukum, perbaikan pendidikan, atau industrialisasi tidak populer di mata publik karena tidak memberikan hasil instan.
Sebaliknya, pemimpin populis yang sering menjanjikan program cepat, bantuan tunai, subsidi sementara, atau janji manis justru lebih mudah menang. Demokrasi akhirnya memberi panggung kepada mereka yang mampu berbicara paling manis, bukan yang mampu bekerja paling tepat.
7. Pendidikan Politik Masyarakat Masih Lemah
Pemimpin berkualitas hanya bisa muncul bila masyarakat mampu memilih dengan bijak. Namun sebagian besar pemilih masih menentukan pilihan berdasarkan emosi, janji instan, tekanan sosial, atau sekadar ikut-ikutan.
Isu-isu penting seperti ekonomi, tata kelola negara, dan kebijakan jangka panjang jarang dibahas. Ketika pemilih belum dewasa, demokrasi pun belum bisa melahirkan pemimpin dewasa.
8. Pemimpin Baik Tidak Suka Panggung, Pemimpin Buruk Haus Sorotan
Realitanya, banyak orang yang kompeten justru enggan tampil atau berebut panggung. Mereka lebih fokus bekerja dan tidak nyaman terlibat drama politik.
Sebaliknya, banyak sosok medioker yang sangat haus perhatian, senang tampil, pandai memprovokasi, dan ahli menciptakan drama.
Sistem demokrasi modern yang penuh sorotan media justru memberi keuntungan lebih besar kepada mereka yang paling bising, bukan paling berkualitas.
9. Siklus Pemilu Lima Tahunan Membunuh Visi Jangka Panjang
Pemimpin dalam demokrasi sering terjebak pola pikir jangka pendek demi menjaga elektabilitas untuk pemilu berikutnya. Program mereka lebih berorientasi pada pembangunan fisik yang cepat terlihat, bantuan instan, dan proyek populis.
Padahal, pembangunan bangsa memerlukan kebijakan jangka panjang seperti reformasi pendidikan, penegakan hukum, dan pengembangan teknologi.
Pemimpin yang berpikir terlalu jauh sering tidak populer, sehingga sulit menang di sistem yang berorientasi lima tahunan.
10. Oligarki Masih Mengendalikan Arah Politik
Meskipun rakyat memilih di bilik suara, kenyataannya banyak kandidat sudah disaring oleh elite politik, pemilik modal besar, pemilik media, dan jaringan bisnis. Mereka menentukan siapa yang layak “dijual” kepada masyarakat.
Dengan kata lain, demokrasi memberi rakyat pilihan, tetapi pilihan itu telah dipersempit oleh kekuatan di balik layar. Ketika oligarki dominan, kualitas kepemimpinan tidak lagi menjadi prioritas.
Kesimpulan
Demokrasi bukanlah sistem yang buruk. Yang buruk adalah lingkungan yang belum matang:
- Rakyat belum melek politik
- Partai belum profesional
- Media belum independen
- Politik uang masih kuat
Pemimpin berkualitas akan lahir ketika:
- Masyarakat kritis
- Partai menjadi sekolah politik
- Media netral
- Dan pencitraan tidak lebih penting dari kerja nyata
Pada akhirnya, kualitas demokrasi sangat bergantung pada kualitas masyarakatnya.
Baca juga: Feodalisme Di Tanah Merdeka: Luka Lama yang Belum Sembuh
