Sekolah Tanpa Suara: Saat Feodalisme Merasuk Ke Dunia Pendidikan

Ilustrasi Ai Oleh Redaksi Aksara Merdeka

Pernahkah anda melihat murid yang ingin menyanggah guru, tapi menahan diri karena takut dianggap “kurang ajar”? Atau guru yang marah karena muridnya berani bertanya terlalu dalam? Fenomena ini masih sering terjadi di sekolah-sekolah kita.

Padahal, kalau kita jujur, di sinilah akar dari feodalisme pendidikan — sistem yang secara halus membungkam keberanian berpikir. Bayangkan jika feodalisme dalam pendidikan hilang. Guru dan murid bisa berbantahan ide dan gagasan dengan santun, saling menantang pikiran tanpa saling merendahkan.

Kelas bukan lagi tempat menunduk dan mencatat, melainkan tempat berpikir dan berdialog. Itulah cita-cita pendidikan merdeka yang dulu diperjuangkan oleh Ki Hajar Dewantara.

1. Guru Bukan Penguasa Ilmu, Tapi Pembawa Cahaya Pengetahuan

Di banyak sekolah, guru masih dianggap “tokoh tak tersentuh”. Segala ucapan guru dianggap mutlak benar — tanpa ruang kritik. Padahal, guru sejati bukanlah menara gading, tapi lentera jalan bagi muridnya.

Seorang guru yang terbuka pada kritik justru menunjukkan kematangan intelektual. Ia tidak takut salah, karena tahu bahwa kebenaran hanya bisa lahir dari keberanian untuk diuji.

Murid pun akan belajar hal yang sama: bahwa mencari ilmu bukan soal siapa yang menang, tapi siapa yang paling jujur dalam berpikir.

2. Murid Tidak Lagi Takut Salah, Tapi Takut Diam

Feodalisme membuat murid takut salah. Padahal, salah adalah bagian dari proses belajar. Yang seharusnya ditakuti bukan kesalahan, tapi ketakutan untuk mencoba.

Ketika guru membuka ruang diskusi, murid pun tumbuh menjadi pribadi yang kritis dan berani berpendapat — namun tetap menjaga sopan santun. Mereka akan paham bahwa sopan bukan berarti diam, melainkan menghargai orang lain tanpa kehilangan logika dan akal sehat.

Baca juga: Feodalisme Di Tanah Merdeka: Luka Lama Yang Belum Sembuh

3. Kelas Jadi Laboratorium Gagasan, Bukan Monolog Hafalan

Kelas yang ideal bukanlah ruang sunyi penuh hafalan. Ia harus hidup oleh gagasan, tanya, dan debat sehat. Guru memantik, murid menjawab, lalu ide berloncatan di udara. Itulah suasana yang melahirkan kecerdasan sejati.

Pendidikan tanpa ruang diskusi hanya akan menghasilkan generasi penurut — bukan pemimpin. Dan bangsa tanpa pemimpin berpikir hanya akan jadi penonton di panggung peradaban.

4. Hubungan Guru dan Murid Jadi Lebih Manusiawi

Dalam sistem feodal, guru dipuja, murid tunduk. Tapi dalam pendidikan merdeka, keduanya manusia yang saling belajar. Guru belajar dari murid tentang perkembangan zaman, sementara murid belajar dari guru tentang nilai-nilai kehidupan.

Tidak ada jarak, tidak ada rasa takut. Yang ada hanyalah respek yang tulus dan rasa ingin tahu yang saling menumbuhkan.

5. Melahirkan Generasi Berani dan Cerdas Secara Moral

Bayangkan jika sekolah di Indonesia menumbuhkan suasana seperti itu. Generasi muda akan tumbuh dengan kepala yang cerdas dan hati yang jernih. Mereka tidak takut bicara kebenaran, tapi juga tidak kehilangan adab.

Mereka berani berbeda pendapat, tapi tidak sombong dengan pikirannya. Itulah buah dari pendidikan tanpa feodalisme: Generasi merdeka secara pikiran, hati, dan nurani.

Penutup

Feodalisme dalam pendidikan adalah rantai tidak terlihat yang mengikat kebebasan berpikir. Selama rantai itu belum diputus, murid akan terus menjadi bayangan dari gurunya — bukan penerus yang melampaui.

Maka, sudah saatnya guru dan murid berdiri sejajar: sama-sama belajar, sama-sama mencari kebenaran.

“Di negeri tanpa feodalisme pendidikan, guru bukan lagi menara gading, dan murid bukan lagi karung kosong.Mereka adalah dua mata api pengetahuan yang saling menyalakan.”

Baca juga: Mengapa Rakyat Cerdas Menentukan Masa Depan Bangsa?

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses

Scroll to Top