
ilustrasi Ai Oleh Editor Aksara Merdeka
Bagi masyarakat Indonesia, kata hajatan sudah sangat akrab di telinga. Ia bisa berarti pernikahan, khitanan, syukuran rumah baru, hingga perayaan kelulusan. Namun jauh sebelum hajatan menjadi pesta besar seperti sekarang, leluhur Nusantara memaknai hajatan dengan cara yang sangat berbeda: sederhana, tulus, dan penuh filosofi.
Makna Awal Hajatan: “Hajat” sebagai Niat dan Syukur
Secara bahasa, hajat berarti keinginan atau niat. Dalam tradisi lama masyarakat Jawa, Sunda, Melayu, hingga Bugis, hajatan adalah bentuk rasa syukur kepada Tuhan dan ucapan terima kasih kepada sesama. Ia bukan untuk pamer, tapi untuk menegaskan hubungan antar manusia dan alam.
Di masa kerajaan, hajatan biasanya berbentuk slametan atau kenduri. Makanan disajikan, doa dipanjatkan, dan tamu duduk sama rendah di tikar pandan. Tidak ada panggung megah, tidak ada musik keras. Yang hadir datang bukan untuk menilai, tapi untuk mendoakan.
Filosofi hajatan sederhana ini kuat sekali:
“Rezeki tidak bertambah karena kemewahan, tapi karena keikhlasan berbagi.”
Hajatan Sebagai Tradisi Gotong Royong
Dulu, hajatan adalah wujud nyata gotong royong. Ketika seseorang hendak menggelar pesta, tetangga akan datang membantu, ada yang memasak, ada yang menghias, ada yang menyiapkan tempat duduk. Tidak ada kata “sewa vendor”. Semua dilakukan bersama, dengan hati.
Sebuah hajatan bukan hanya milik keluarga yang punya acara, tetapi milik seluruh kampung. Hidangan dari dapur rumah tetangga pun ikut tersaji di meja tamu.
Anak-anak berlarian, orang tua bercanda, dan semua orang merasa menjadi bagian dari kebahagiaan itu. Itulah mengapa dulu tidak ada istilah “balik modal.” Karena yang dicari bukan uang kembali, tapi doa dan restu.
Masuknya Modernitas dan Pergeseran Makna
Seiring masuknya budaya modern dan ekonomi pasar, hajatan mulai mengalami perubahan bentuk. Televisi dan media massa memperkenalkan konsep “pesta megah” sebagai simbol keberhasilan sosial. Maka hajatan yang dulu sakral berubah menjadi ajang gengsi.
Perlahan-lahan, gotong royong digantikan oleh vendor profesional. Makanan tidak lagi dimasak bersama, tapi dipesan dari katering. Suara doa tergantikan oleh dentuman musik dan lampu sorot panggung. Yang dulu jadi wadah kebersamaan, kini berubah jadi panggung penilaian sosial.
Kini, banyak orang merasa malu jika hajatan kecil. Padahal yang memalukan bukan sederhana, tapi berutang demi gengsi.
Dari Rasa Syukur ke Transaksi Sosial
Di beberapa daerah, hajatan bahkan berubah menjadi ajang ekonomi tersendiri. Amplop tamu dihitung, biaya pesta dicatat, dan “hasil akhir” dihitung seperti laporan keuangan. Bahkan ada keluarga yang mengundang bukan karena ingin bersilaturahmi, retapi karena berharap tamu akan membawa amplop lebih tebal.
Makna syukur pun berubah menjadi strategi balik modal. Dan di sinilah nilai luhur hajatan mulai memudar. Semangat berbagi berubah jadi perhitungan untung-rugi, dan doa berganti dengan gengsi.
Hajatan dalam Pandangan Leluhur
Leluhur Nusantara sangat menghormati keseimbangan hidup. Dalam pandangan mereka, setiap syukuran harus selaras dengan rezeki. Kalau sedang mampu, berbagi lebih banyak. Kalau belum, secukupnya. Mereka percaya:
“Pesta yang mewah tidak menjamin berkah, tetapi pesta yang ikhlas pasti membawa damai.”
Karena itu, dalam adat lama, seseorang yang berlebihan dalam hajatan dianggap “tidak memahami keseimbangan hidup.” Hidup ini bukan tentang siapa yang paling ramai pestanya, tetapi siapa yang paling tulus dalam mengundang doa.
Refleksi untuk Zaman Sekarang
Kini, generasi muda mulai sadar bahwa kemewahan bukan ukuran bahagia. Banyak pasangan memilih hajatan sederhana, cukup di rumah atau masjid, karena mereka paham: pernikahan adalah awal perjalanan, bukan akhir perlombaan.
Kembalinya kesederhanaan ini bukan kemunduran, tetapi kebangkitan kesadaran, bahwa kebahagiaan tidak butuh panggung besar, melainkan hati yang tenang dan niat yang bersih.
Penutup
Sejarah hajatan mengajarkan satu hal penting:
Hajatan bukan soal berapa banyak tamu yang datang, tetapi berapa banyak doa yang tulus kita terima.
Dan ketika hajatan kembali kepada makna asalnya yaitu rasa syukur, kebersamaan, dan keikhlasan di situlah kebahagiaan sejati tumbuh, bukan hanya di meja pesta, tapi di hati manusia.
Baca juga: Weton dan MBTI: Dua Cara Berbeda untuk Mengenal Diri
