Hajatan Sebagai Ajang Mencari Untung

Editor Ai Oleh Redaksi Aksara Merdeka

Dulu hajatan dikenal sebagai wujud syukur dan kebersamaan. Tuan rumah membuka pintu, mengundang tetangga, menyajikan makanan sederhana, dan memohon doa agar kehidupannya diberkahi.

Namun kini, di banyak tempat, makna hajatan perlahan berubah.Yang dulunya simbol ketulusan, kini berubah menjadi perhitungan ekonomi. Amplop tamu, biaya sewa tenda, hingga harga katering kini dihitung seperti neraca bisnis. Hajatan yang seharusnya menghangatkan, kini terasa seperti transaksi sosial.

Dari Syukur Menjadi Balik Modal

Banyak keluarga kini menggelar hajatan bukan lagi dengan niat berbagi, melainkan dengan harapan “uang amplop bisa menutupi biaya pesta.” Ada yang berkata dengan jujur:

“Yang penting nggak rugi, asal balik modal.”

Kalimat sederhana itu sesungguhnya menggambarkan betapa dalam perubahan nilai yang terjadi. Hajatan yang dulu menjadi ladang pahala, kini berubah menjadi kalkulator keuntungan.

Tamu datang bukan lagi sekadar membawa doa, tapi membawa angka yang diam-diam diperhitungkan. Bahkan dalam sebagian masyarakat, jumlah undangan diatur bukan karena kapasitas tempat, tetapi karena “potensi amplop.” Sebuah realitas pahit, di mana budaya syukur tergantikan oleh mental dagang.

Sistem Amplop dan Ilusi Gotong Royong

Dalam tradisi lama, amplop bukan kewajiban. Ia hanya tanda kasih, bentuk partisipasi moral. Namun kini, amplop justru menjadi bagian dari sistem sosial tidak tertulis.

Ada yang merasa malu jika tidak memberi, dan ada yang kecewa jika menerima sedikit. Padahal, semangat gotong royong bukanlah soal nominal, tetapi soal niat membantu sesama.

Yang lebih menyedihkan, banyak keluarga miskin memaksakan diri mengadakan hajatan besar demi “tidak malu di mata masyarakat,” padahal mereka tahu hasil amplop tidak akan cukup menutup biaya.

“Malu karena sederhana lebih ditakuti daripada malu karena berhutang.”

Realita sosial hari ini.

Peran Ekonomi di Balik Pesta

Tidak bisa dipungkiri, hajatan kini juga menjadi ekosistem ekonomi. Vendor dekorasi, katering, penyewaan tenda, make-up, dan fotografer hidup dari situ. Dalam skala makro, hajatan mendorong perputaran uang yang besar. Namun di sisi lain, banyak keluarga yang terjebak dalam “jebakan konsumsi sosial.”

Mereka tidak lagi mengukur kemampuan finansial pribadi, tetapi mengikuti standar “umum” yang dibentuk oleh masyarakat dan media. Pesta besar dianggap “normal”, padahal kadang biayanya setara setahun penghasilan.

Jika pesta megah membuat tenang, mungkin tidak masalah. Tetapi yang sering terjadi justru sebaliknya, selesai pesta keluarga baru malah memulai hidup dengan beban hutang.

Ketika Doa Diganti Perhitungan

Dalam suasana pesta, kita sering dengar ucapan:

“Semoga cepat balik modal.” Bukan “semoga langgeng dan bahagia.”

Ucapan ini mungkin terdengar lucu, tapi juga menyedihkan. Karena ia menggambarkan bagaimana masyarakat kini mengukur keberhasilan hajatan bukan dari berkahnya, tapi dari keuntungan finansialnya.

Padahal kalau direnungkan, hajatan yang diisi doa-doa tulus jauh lebih berharga daripada pesta besar yang hanya meninggalkan tagihan.

Kembali ke Makna Awal

Hajatan bukan masalah besar kecilnya biaya, tetapi sejauh mana ia membawa kebaikan. Tidak salah jika seseorang ingin berbagi rezeki, tapi niat harus tetap lurus: bersyukur, bukan berdagang kebahagiaan.

Sebab, ketika nilai spiritual hilang dari sebuah hajatan, yang tersisa hanyalah kelelahan, tagihan, dan gengsi yang semu. Masyarakat seharusnya mulai sadar: “Tidak semua yang ramai itu berkah, dan tidak semua yang sederhana itu hina.”

Penutup

Generasi muda mulai menolak budaya hajatan yang berlebihan. Mereka memilih pesta kecil, bahkan ada yang hanya sekadar makan bersama keluarga.

Karena bagi mereka, yang penting bukan balas amplop, tapi awal perjalanan hidup yang damai. Dan di situlah sebenarnya letak kemerdekaan, ketika manusia mampu berkata:

“Aku bersyukur, bukan berjualan rasa syukur.”

Baca juga: Sejarah Hajatan di Nusantara: Dari Rasa Syukur ke Lomba Kemewahan

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses

Scroll to Top