
Gambar oleh Dindin Hasanudin Nugraha dari Pixabay
Orang Jawa sejak dulu percaya bahwa weton bukan sekadar hitungan hari lahir, tapi juga panduan untuk menilai watak dan kecocokan pasangan. Namun, seiring waktu, banyak orang mulai mempertanyakan — mengapa ada yang “melanggar hitungan” tapi justru hidupnya bahagia, sementara yang mengikuti perhitungan leluhur malah berakhir di perceraian?
“Mungkin bukan wetonnya yang salah, tapi cara manusia memahami takdir.”
Weton Sebagai Cermin Watak, Bukan Penentu Takdir
Weton memang sering tepat dalam membaca karakter dasar seseorang. Misalnya, orang berweton Selasa Pon dikenal rajin tapi keras kepala, sementara Kamis Legi lembut tapi mudah tersinggung.Pengetahuan ini berguna untuk introspeksi, agar kita tahu sisi terang dan gelap diri kita.
Namun ketika weton digunakan untuk menentukan jodoh secara kaku, di situlah letak kesalahannya. Manusia bukan rumus angka, dua orang bisa saja “tidak cocok” menurut hitungan, tapi “seimbang” dalam kenyataan karena keduanya saling belajar, saling sabar, dan saling menerima.
Psikologisnya: Cinta Tidak Tunduk pada Pola
Dari sisi psikologi, hubungan yang langgeng ditentukan oleh komunikasi, empati, dan kematangan emosional — bukan tanggal lahir atau energi pasaran.
Hubungan dua manusia seperti air dan tanah: kadang kering, kadang lembut, kadang bergolak. Tetapi jika dua-duanya mau menyesuaikan diri, mereka bisa jadi sumber kehidupan.
“Cinta itu bukan tentang siapa yang cocok sejak awal, tapi siapa yang terus berjuang agar tetap cocok.”
Jadi kalau ada pasangan yang bahagia meski “melanggar hitungan”, itu karena mereka menghidupi hubungan dengan kesadaran, bukan sekadar keyakinan angka.
Sudut Pandang Agama: Jodoh Itu Takdir, Tapi Manusia Tetap Berikhtiar
Dalam Islam, jodoh bukan hasil perhitungan, melainkan ketetapan Allah yang dibarengi usaha dan doa. Rasulullah ﷺ bersabda:
“Tiada yang dapat menolak takdir kecuali doa.” (HR. Ahmad)
Artinya, meski weton punya nilai budaya, doa dan akhlak jauh lebih kuat dalam membentuk keharmonisan rumah tangga. Karena hubungan bukan sekadar cocok di atas kertas, tapi juga kuat di dalam hati dan sabar dalam ujian.
Banyak pasangan yang langgeng bukan karena wetonnya serasi, tapi karena mereka saling menutupi kekurangan dengan kasih.
Penutup: Warisan Leluhur, Bukan Pengikat Nasib
Kita tetap bisa menghargai weton sebagai bentuk kearifan lokal, tapi jangan menjadikannya hakim atas cinta dan takdir manusia.
Leluhur dulu menghitung weton bukan untuk melarang cinta, melainkan agar manusia lebih hati-hati, lebih mengenal diri sendiri, dan lebih siap menghadapi perbedaan.
Namun, di atas semua hitungan, tetap ada kuasa Tuhan yang Maha Mengatur. “Weton bisa membaca watak, tapi hanya Tuhan yang membaca hati.”
Cinta yang dijaga dengan kejujuran akan bertahan, bahkan ketika hitungan mengatakan sebaliknya.
Baca juga: Mengapa Orang Baik Justru Sedikit Temannya?
