Jika VOC Jujur, Mungkin Tidak Akan Ada Indonesia

Ilustrasi Gambar Oleh Editor Aksara Merdeka

Ada kalimat yang menggugah pikiran:

“Kalau VOC berdagang dengan jujur dan menghargai penduduk lokal sebagai mitra dagang, maka tidak akan ada Indonesia.”

Kalimat ini terdengar sederhana, tapi di baliknya tersimpan paradoks besar sejarah. Ia menyingkap kenyataan pahit bahwa terkadang kejahatanlah yang memaksa manusia untuk bersatu, dan ketidakadilanlah yang melahirkan kesadaran akan kemerdekaan.

VOC dan Watak Asli Kolonialisme

VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie) bukanlah kerajaan, bukan pula kekuatan politik pada awalnya. Ia hanyalah sebuah perusahaan dagang yang memiliki misi tunggal: mencari untung sebesar-besarnya dari perdagangan rempah-rempah di Timur. Namun di balik bendera dagang, tersembunyi ambisi untuk menguasai.

Mereka tidak datang membawa etika bisnis, tapi keserakahan korporasi. VOC menipu harga, memaksa kontrak, memonopoli perdagangan, bahkan menggunakan kekuatan senjata untuk menguasai pasar lokal.

Pedagang Nusantara yang dulu bebas berlayar, kini harus tunduk pada peraturan yang tidak mereka buat. Petani yang dulu menanam dengan bahagia, kini hidup di bawah perintah dan ancaman.

Andai VOC berdagang dengan jujur, membeli hasil bumi dengan harga pantas, menghormati adat, dan menjadikan bangsa Nusantara sebagai mitra niaga sejajar, maka mungkin hubungan itu akan tetap hangat. Tidak akan ada darah, tidak akan ada perlawanan. Tetapi justru karena VOC tidak jujur, dari sanalah bara perlawanan muncul.

Penindasan yang Menyatukan

Penderitaan adalah bahasa yang universal. Ketika rakyat Jawa, Sumatra, Maluku, Bali, hingga Sulawesi sama-sama merasakan penindasan yang serupa, perlahan tumbuh kesadaran baru: bahwa mereka memiliki musuh yang sama, dan nasib yang sama.

Kalau VOC berlaku adil, mungkin setiap kerajaan di Nusantara akan tetap hidup damai sendiri-sendiri, sibuk berdagang dan mengatur wilayahnya. Tapi karena VOC zalim, maka muncullah rasa senasib yang kelak menjadi cikal bakal nasionalisme.

Dari Maluku, muncul Pattimura. Dari Aceh, lahir Cut Nyak Dien. Dari Sumatra Barat, Imam Bonjol. Dari Jawa, Pangeran Diponegoro. Dari berbagai penjuru, muncul jiwa yang sama: menolak ditindas.

Baca juga: Jika VOC dan Belanda Tidak Pernah Datang: Akankah Kerajaan Nusantara Bertahan?

Paradoks Sejarah

Inilah hukum yang aneh tapi nyata dalam perjalanan bangsa:

“Terkadang, ketidakadilanlah yang mempersatukan manusia.”

Kalau VOC datang membawa perdamaian, mungkin Nusantara akan tetap terpisah sebagai ratusan kerajaan yang makmur tapi tidak saling mengenal. Namun karena VOC datang membawa keserakahan, maka bangsa-bangsa kecil itu terpaksa menemukan kekuatan bersama.

Tanpa VOC, mungkin tidak akan ada Indonesia. Karena VOC adalah luka yang menyatukan. Ia seperti duri dalam sejarah yang memaksa bangsa ini belajar tentang arti harga diri dan kemerdekaan.

Cermin untuk Zaman Sekarang

Kini, VOC telah tiada. Tapi watak kolonialisme tidak pernah benar-benar mati. Ia bisa berwujud dalam sistem yang menindas rakyat kecil, dalam korporasi yang mengeruk sumber daya tanpa hati nurani, atau bahkan dalam pejabat yang menggadaikan moral demi keuntungan pribadi.

VOC boleh datang dan pergi, tetapi selama keserakahan masih hidup di hati manusia, penjajahan hanya berganti bentuk.

Penutup

Kadang Tuhan membiarkan kejahatan terjadi, bukan karena Ia berpihak pada yang zalim, tetapi karena di balik luka itu, ada pelajaran besar yang tidak bisa lahir dari kenyamanan.

Jika VOC jujur, mungkin kita tidak akan punya nama bernama Indonesia. Tapi karena mereka tidak jujur, maka bangsa ini belajar, bersatu, dan berdiri bukan sebagai pedagang, tapi sebagai manusia yang merdeka.

Baca juga: Benarkah Indonesia Dijajah 350 Tahun?

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses

Scroll to Top