
Seni Nusantara pernah berdiri sebagai salah satu kekuatan budaya terbesar di Asia. Dari candi megah yang dihitung secara matematis, batik yang penuh filosofi, hingga gamelan yang membutuhkan kepekaan rasa, semuanya lahir dari proses panjang, disiplin, dan kedalaman batin.
Namun beberapa dekade terakhir, terutama sejak era digital menguasai hidup, muncul satu kegelisahan yang sama:
- Mengapa kualitas seni di Indonesia terlihat menurun?
- Apa yang sebenarnya terjadi dengan jiwa artistik bangsa ini?
Untuk menjawabnya, kita perlu melihat perubahan besar yang mengubah cara kita berkarya, berpikir, dan menikmati seni.
Pergeseran Nilai: Dari Kontemplasi ke Kecepatan
Seni tradisional Nusantara tumbuh dari ritme hidup yang perlahan. Orang Jawa bilang alon-alon waton kelakon — pelan-pelan asalkan terwujud.
Ukiran kayu, tenun, keris, atau candi, tidak bisa lahir dalam hitungan hari. Semua membutuhkan:
- Perenungan
- Kesabaran
- Hubungan batin antara pembuat dan material
- Serta pemahaman filosofi
Tapi era digital menciptakan budaya baru: semua harus cepat, instan, dan langsung terlihat hasilnya. Konten viral 10 detik bisa lebih dihargai daripada karya seni yang dibuat setahun.
Dan ini perlahan menggeser nilai masyarakat: dari kedalaman menjadi kecepatan.
Seni Serius Kalah oleh Seni Instan
Seni digital memang memudahkan eksperimen, tetapi ia membawa jebakan besar: perhatian publik menjadi pendek, dangkal, dan terfragmentasi.
Orang hanya berhenti 1–2 detik pada konten. Akibatnya, karya seni yang serius, filosofis, kompleks, dan membutuhkan pemahaman, sering kalah dari konten receh yang mudah dicerna.
Dulu seni adalah buah pikiran mandiri.Kini seni sering menjadi strategi viral. Perubahan motif ini membuat kualitas seni menurun bukan karena pelakunya bodoh, tetapi karena pasar digital mendorong semua orang untuk menurunkan standar demi relevan.
Baca juga: Mengapa Manusia Suka Jalan Pintas? Inilah Sifat Dasar yang Jarang Kita Sadari
Hilangnya Proses Belajar Langsung dari Guru
Seni tradisi selalu diwariskan lewat guru dan murid. Empu keris, perajin perak, pesinden, sampai penari klasik semuanya belajar bertahun-tahun, meniru, memperbaiki, lalu tumbuh sampai matang.
Sekarang, banyak orang melewati proses itu. Era digital membuat kita merasa: belajar cukup dari YouTube, tidak perlu guru, tidak perlu disiplin, tidak perlu tirakat.
Padahal seni Nusantara tidak hanya soal teknik, tetapi juga jiwa, etika, dan pembentukan karakter.
Teknologi Mengambil Alih Peran KetekunanTeknologi, terutama AI art dan aplikasi desain, memberi kemampuan besar, tetapi juga racun halus: ia menghilangkan kesulitan yang seharusnya membentuk kualitas.
Dulu:
- Menggambar butuh ketelitian
- Menenun butuh kesabaran
- Memahat butuh kekuatan rasa
- Membuat gamelan perlu kepekaan nada
Kini banyak hal hanya butuh:
- Preset
- Filter
- Template
- Atau generator otomatis
Ketika kesulitan hilang, kualitas pun ikut menguap. Seni menjadi soal tampilan, bukan proses.
Ekonomi Seni Melemah, Seniman Kehilangan Ruang Hidup
Ini fakta pahit yang sering dihindari:
- Banyak seniman tradisi hidup pas-pasan.
- Pasar seni kalah saing dengan hiburan digital.
- Industri budaya lebih berpihak pada konten cepat.
- Masyarakat tidak lagi menghargai karya mendalam.
Bagaimana kualitas seni bisa bertahan, jika para pembuatnya tidak diberi ruang untuk hidup layak? Seni besar hanya lahir dari orang yang diberi ketenangan untuk berkarya.
Tanpa itu, seni akan bergeser menjadi sekadar pekerjaan sampingan yang dijalankan seadanya.
Ruang Sosial untuk Seni Tradisi Menghilang
Seni Nusantara tumbuh dari interaksi sosial: panggung rakyat, acara adat, ritual desa, festival kampung, bahkan sekadar kumpul warga.
Kini semua ruang itu mengecil atau hilang. Anak muda lebih sering: menatap layar, bermain gim, mengikuti tren global, hidup di ruang digital yang tidak punya memori sejarah.
Seni tradisi kehilangan panggung, kehilangan audiens, kehilangan ritme hidup.
Kesimpulan: Seni Nusantara Tidak Hilang, Ia Hanya Terdesak Zaman
Kualitas seni yang menurun bukan berarti bangsa ini kehilangan kreativitas. Yang hilang adalah ruang, waktu, dan nilai yang dulu menopang seni itu.
Penurunan terjadi karena:
- Kecepatan mengalahkan kedalaman
- Instan mengalahkan proses
- Konten viral mengalahkan karya serius
- Teknologi menggeser ketekunan
- Ekonomi budaya melemah
- Ruang sosial tradisi mengecil
Namun ada kabar baik:
Semakin banyak anak muda mulai kembali belajar batik, keris, tari, ukiran, dan musik tradisi. Mereka tidak ingin seni leluhur hilang ditelan zaman.
Dan jika generasi sekarang bisa menemukan cara menggabungkan kedalaman tradisi dengan kreativitas digital, seni Nusantara bukan hanya bangkit, tapi bisa lebih megah dari sebelumnya.
Baca juga: Dari Candi ke Konten Receh: Evolusi Jiwa Artistik Bangsa
