Mahar yang Adil: Tidak Memberatkan Laki-Laki, Tidak Merendahkan Perempuan

Dalam tradisi pernikahan, mahar sering dianggap urusan kecil. Banyak orang hanya memikirkan resepsi besar, dekorasi megah, dan hidangan mahal, sementara mahar dipilih sekadar formalitas: seperangkat alat shalat, uang Rp 100 ribu, atau benda simbolis yang nilainya tidak seberapa. Padahal dalam Islam, mahar adalah simbol penghormatan, bukan sekadar syarat administratif.

Di satu sisi, ada anjuran bahwa mahar tidak boleh memberatkan laki-laki. Tetapi di sisi lain, ada realitas yang sering dilupakan: mahar juga tidak boleh terlalu rendah hingga merendahkan martabat perempuan.

Di tengah kebiasaan kita yang terjebak antara gengsi pesta dan mahar minimalis, muncullah pertanyaan penting:

Di mana letak keadilan mahar? Bagaimana mahar yang benar menurut Islam?

Mahar Nabi Tidak Murahan, Ini Fakta Sejarah yang Sering Diabaikan

Banyak orang memakai dalih “mahar jangan mahal” dengan mencomot satu hadis: “Sebaik-baik mahar adalah yang paling mudah.” Padahal konteks hadis itu bukan berarti “murah”, tetapi tidak memberatkan.

Anehnya, hadis itu sering dipakai untuk membenarkan mahar yang terlalu murah. Padahal bila melihat sejarah:

Mahar Khadijah misalnya, mencapai 20 ekor unta. Itu adalah angka yang sangat besar pada masa itu, jika dikonversi sekarang bisa senilai rumah dan tanah. Mahar Aisyah mencapai 500 dirham, juga bukan jumlah kecil.

Artinya, memudahkan mahar tidak berarti membuatnya asal-asalan; Nabi mencontohkan mahar yang wajar, bernilai, dan terhormat sesuai budaya serta kelas sosial saat itu. Kita justru sering keliru memahami hadits tersebut sehingga menciptakan budaya mahar yang minim nilai.

3. Budaya Kita Justru Kebalik: Resepsi Mewah, Mahar Murah

Fenomena di masyarakat modern justru aneh: pesta dibuat besar dan mewah, sedangkan mahar dibuat sekecil mungkin.

Ada yang berlebihan sampai memaksakan dekorasi puluhan juta, menyewa MUA mahal, dan menyiapkan ratusan undangan, tetapi ketika bicara mahar, mereka menyebut angka sangat rendah demi terlihat “sederhana” dan “islami.”

Padahal logika Islam tidak seperti itu. Resepsi tidak wajib mewah, sedangkan mahar adalah komponen wajib dan bermakna. Ketika mahar dibuat terlalu murah sementara pesta berlebihan, itu menandakan bahwa orientasi pernikahan bergeser dari substansi menjadi gengsi.

Baca juga: Tekanan Sosial di Balik Undangan Pernikahan: Tradisi yang Diam-Diam Menyakitkan

4. Mahar Sangat Murah Bisa Mengurangi Harga Diri Perempuan

Mahar memang bukan harga perempuan, tetapi ketika nilainya terlalu kecil, perempuan bisa merasa tidak dihargai. Hubungan kemudian dimulai tanpa simbol komitmen yang kuat.

Suami juga cenderung menganggap mahar hanya formalitas, bukan tanda keseriusan. Padahal dalam tradisi Islam, mahar adalah bukti bahwa laki-laki siap memikul tanggung jawab.

Perempuan dari keluarga baik-baik tidak membutuhkan mahar mahal untuk pamer, tetapi mereka membutuhkan mahar yang layak sebagai simbol penghormatan dan nilai diri. Bukan harus mewah, tetapi tidak pantas jika terlalu rendah.

5. Titik Adil Mahar: Layak, Bernilai, Tapi Tidak Memaksa

Keadilan mahar terletak pada keseimbangan: tidak memberatkan laki-laki, tetapi cukup bernilai untuk menjaga martabat perempuan. Mahar ideal adalah yang sesuai kemampuan laki-laki, namun tetap memiliki nilai nyata, bukan sekadar simbol kosong.

Bisa berupa emas beberapa gram, seekor kambing atau sapi kecil, mushaf Al-Qur’an berkualitas, tanah kecil, atau barang yang bermanfaat jangka panjang.

Selama tidak berhutang dan tidak memaksakan diri, mahar boleh bernilai besar. Dan selama tidak merendahkan perempuan, mahar boleh bernilai kecil. Intinya adalah layak dan bermartabat.

6. Mahar Bukan Pembayaran, Tapi Simbol Keseriusan

Dalam pandangan Islam, mahar tidak dimaksudkan sebagai harga perempuan. Ia adalah bentuk penghormatan dan tanda bahwa laki-laki benar-benar ingin membangun rumah tangga, tidak main-main.

Simbol ini penting untuk menciptakan pondasi psikologis yang sehat. Di banyak kasus, perempuan merasa lebih dihargai ketika mendapat mahar yang pantas.

Dari sini, mahar berfungsi sebagai komitmen awal bahwa laki-laki siap bekerja keras dan bertanggung jawab setelah menikah. Jadi bukan soal mahal atau murah, tetapi tentang makna dan kesiapan.

7. Kesimpulan: Mahar yang Baik Adalah Mahar yang Bermartabat

Jika ingin mengikuti sunnah Rasul, maka mahar harus berada pada titik keseimbangan. Islam tidak memerintahkan mahar mahal, tetapi juga tidak mengajarkan mahar murahan.

Yang diperintahkan adalah memudahkan bukan meremehkan. Mahar yang baik adalah mahar yang mencerminkan penghormatan, keseriusan, dan kesiapan memikul tanggung jawab rumah tangga.

Ini tidak harus mewah, tidak harus sedikit, tetapi harus bernilai dan pantas menurut keadaan masing-masing keluarga. Dengan cara inilah mahar menjadi ibadah, bukan beban, dan bukan formalitas.

Baca juga: Hajatan Tanpa Sumbangan: Kasta Tertinggi Menggelar Pesta

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses

Scroll to Top