
Ilustrasi Ai Oleh Editor Aksara Merdeka
Ketika kita membaca kisah para nabi, sebagian hidup dalam kesederhanaan seperti Nabi Muhammad ﷺ dan Nabi Isa, namun sebagian lainnya justru memegang kekuasaan besar, seperti Nabi Daud dan Nabi Sulaiman. Keduanya bukan sekadar raja.
Mereka adalah raja yang diangkat oleh langit, bukan hasil perebutan dunia. Muncul pertanyaan yang menggoda pikiran: Jika kekuasaan begitu berisiko menjerumuskan, mengapa Allah justru memberikan kerajaan kepada sebagian nabi?
Kekuasaan yang Diberikan, Bukan Dikejar
Rahasia pertama ada di sini: Nabi Daud dan Nabi Sulaiman tidak mengejar kekuasaan, kekuasaanlah yang datang kepada mereka. Nabi Daud awalnya hanyalah seorang pemuda yang taat, seorang penggembala yang mengalahkan Jalut bukan dengan pedang besar, melainkan dengan iman yang besar.
“Dan Kami berikan kepadanya kerajaan dan hikmah serta kebijaksanaan dalam memutuskan perkara.” — (QS. Sad: 20)
Allah memberi Nabi Daud kekuasaan bukan karena ambisinya, tapi karena ketulusannya dalam menegakkan kebenaran. Kekuasaan itu menjadi alat, bukan tujuan.
Kerajaan yang Tunduk kepada Allah
Nabi Sulaiman, putra Nabi Daud, mewarisi kerajaan besar yang tidak tertandingi. Ia memerintah manusia, jin, hewan, bahkan angin — sebuah kerajaan yang tidak akan diberikan kepada siapa pun setelahnya.
Namun, di tengah kekuasaan seluas itu, ia justru berkata dengan rendah hati:
“Ini termasuk karunia dari Tuhanku, untuk mengujiku apakah aku bersyukur atau kufur.” (QS. An-Naml: 40)
Inilah perbedaan mendasar antara raja duniawi dan raja ilahiah. Yang satu merasa berhak atas kekuasaan, yang lain merasa diuji oleh kekuasaan.
Raja Para Nabi, Bukan Raja Dunia
Nabi Daud dan Nabi Sulaiman memimpin dengan ilmu dan wahyu. Mereka tidak mengandalkan pasukan untuk menaklukkan manusia, tetapi hikmah untuk menundukkan hati.
Nabi Daud dikenal dengan keadilannya tidak pernah memutuskan perkara sebelum mendengar kedua belah pihak. Nabi Sulaiman dikenal dengan kecerdasannya mampu memahami bahasa semut dan burung, tanda bahwa kekuasaan sejati adalah memahami yang lemah.
Kerajaan mereka bukan simbol kemewahan, tetapi bukti bahwa keadilan dan ilmu bisa hidup berdampingan dengan kekuasaan.
Baca juga: Mengapa Nabi Muhammad Tidak Mau Menjadi Raja?
Ketika Tahta Menjadi Ibadah
Dalam pandangan Islam, tahta bukan dosa asal digunakan untuk menegakkan keadilan dan kemaslahatan umat. Nabi Daud dan Nabi Sulaiman bukanlah penguasa yang menguasai rakyat, tetapi pemimpin yang melayani dengan kebijaksanaan.
Mereka menjadi contoh bahwa kekuasaan bisa berubah menjadi ibadah jika niatnya benar. Berbeda dengan raja zalim yang memerintah atas nama diri sendiri, mereka memerintah atas nama Tuhan.
“Wahai Daud, sesungguhnya Kami menjadikanmu khalifah di bumi, maka berilah keputusan di antara manusia dengan adil.” (QS. Sād: 26)
Kekuasaan sebagai Ujian Terberat
Kekuasaan yang besar bukan tanda cinta, tetapi ujian besar dari Allah. Nabi Sulaiman pernah berkata:
“Ya Tuhanku, ampunilah aku dan anugerahkanlah kepadaku kerajaan yang tidak dimiliki oleh siapa pun sesudahku.” (QS. Sād: 35)
Doa itu bukan kesombongan, melainkan permintaan agar kerajaan itu tidak menyesatkan siapa pun selain dirinya. Beliau tahu, kekuasaan yang besar bisa menghancurkan siapa saja yang tak kuat menanggungnya.
Itulah sebabnya hanya sedikit nabi yang diberi tahta karena tidak banyak manusia yang mampu memegang kekuasaan tanpa kehilangan imannya.
Ketika Dunia di Tangan, Bukan di Hati
Nabi Sulaiman hidup di tengah kemegahan, tapi hatinya tetap sederhana. Beliau tidak terikat pada harta dan istana, karena tahu semuanya hanyalah pinjaman. Sikap ini menjadi pelajaran bagi umat manusia: boleh memiliki dunia, asal dunia tidak memiliki kita.
Sebab banyak orang kehilangan akhirat karena mengejar dunia, tetapi Daud dan Sulaiman justru mendapat dunia tanpa kehilangan akhirat.
Penutup: Raja yang Sujud di Singgasana
Kisah mereka bukan pembenaran bagi raja zalim, melainkan bukti bahwa kekuasaan bisa menjadi cahaya bila disinari iman. Daud dan Sulaiman adalah cermin dari keseimbangan antara kekuatan dan kerendahan hati. Mereka berkuasa atas bumi, tapi tetap sujud kepada langit.
“Sebaik-baik pemimpin adalah yang takut kepada Allah meski ia berkuasa,dan seburuk-buruk penguasa adalah yang melupakan Allah karena kekuasaan.”
Baca juga: Mengapa Al-Qur’an Selalu Mengkritik Raja-Raja Zalim?
