Mengapa Nabi Muhammad Tidak Mau Menjadi Raja?

Ilustrasi Ai Oleh Editor Aksara Merdeka

Ketika Jibril menawarkan dua jalan kepada Rasulullah ﷺ untuk menjadi nabi sekaligus raja atau nabi sekaligus hamba, beliau tanpa ragu memilih jalan kedua: menjadi nabi yang hamba. Pilihan itu bukan sekadar sikap rendah hati. Ia adalah pernyataan tegas tentang makna kekuasaan dalam Islam. Bahwa kemuliaan tidak terletak pada tahta, tetapi pada ketaatan.

Tawaran dari Langit, Pilihan yang Membumi

Dalam riwayat, Rasulullah ﷺ pernah didatangi malaikat Jibril bersama malaikat penjaga gunung. Mereka berkata:

“Jika engkau mau, kami jadikan engkau nabi sekaligus raja; tetapi jika engkau mau, jadilah nabi sekaligus hamba.” Rasul menjawab, “Aku memilih menjadi nabi sekaligus hamba.” (HR. Ahmad dan Hakim)

Kalimat singkat itu menjadi simbol kesederhanaan yang mendalam. Sebab Rasul tahu, kekuasaan dunia adalah godaan halus yang bisa mengaburkan pandangan manusia dari tujuan hidupnya. Beliau ingin agar umatnya memahami, tahta bukanlah jalan menuju kemuliaan, tapi ladang ujian yang berat.

Kekuasaan Bukan Tujuan Risalah

Tugas Rasulullah ﷺ bukan menaklukkan wilayah, tetapi menaklukkan hati manusia dengan iman dan akhlak. Beliau tidak datang untuk membangun kerajaan, melainkan membangun peradaban yang bertumpu pada nilai.

Ketika orang Quraisy menawarinya kekuasaan:

“Jika engkau ingin menjadi raja, kami akan jadikan engkau raja atas kami.” Beliau menjawab dengan tegas: “ Demi Allah, andai mereka meletakkan matahari di tangan kananku dan bulan di tangan kiriku, aku tidak akan meninggalkan tugas ini hingga Allah menegakkannya atau aku binasa karenanya.”

Ungkapan itu menunjukkan bahwa dakwah tidak bisa dibeli oleh kekuasaan. Kebenaran tidak memerlukan istana, cukup hati yang bersih dan lidah yang jujur.

Kepemimpinan dalam Islam: Pelayanan, Bukan Kekuasaan

Berbeda dengan para raja yang menunggu disembah, Rasulullah justru menyapu masjid, menambal sandalnya sendiri, dan tidur di atas tikar kasar. Ketika sahabat kagum, beliau berkata:

“Aku hanyalah hamba Allah, maka aku makan seperti seorang hamba dan duduk seperti seorang hamba.” (HR. Abu Ya’la)

Itulah makna sejati kepemimpinan dalam Islam: pelayanan, bukan penguasaan. Seorang pemimpin dalam pandangan Rasul bukan yang paling tinggi derajatnya, tetapi yang paling banyak tanggung jawabnya di hadapan Allah.

Baca juga: Sejak Kapan Raja Harus Anak Raja?

Mengapa Rasul Tidak Menurunkan Dinasti?

Jika Rasul ingin, beliau bisa menurunkan kekuasaan kepada keluarganya.Tetapi beliau tidak melakukannya. Beliau meninggalkan ajaran, bukan warisan politik.

Hal itu membedakan misi Islam dengan sistem monarki yang diwariskan turun-temurun. Rasulullah tidak ingin agama berubah menjadi alat kekuasaan.

Beliau tahu betul, ketika agama melekat pada tahta, maka yang akan disembah bukan lagi Tuhan tetapi penguasa.

Kekuasaan yang Tidak Diperjuangkan

Ironisnya, setelah Rasul wafat, banyak umatnya yang justru mengejar kekuasaan seolah lupa bahwa pemimpin terbesar mereka pernah menolak tahta.

Namun sejarah juga membuktikan, mereka yang tidak mengejar kekuasaan justru diberi kekuasaan yang diberkahi. Abu Bakar, Umar, Utsman, dan Ali tidak meminta jabatan, tetapi dipilih karena amanah, kemampuan, dan akhlaknya.

Pelajaran untuk Zaman Sekarang

Kita hidup di masa di mana jabatan sering lebih diidamkan daripada tanggung jawab. Banyak yang berdoa ingin jadi “pemimpin yang hebat,” tetapi sedikit yang siap menjadi pelayan umat.

Padahal, jika Rasulullah saja menolak menjadi raja, maka seharusnya setiap pemimpin hari ini tidak lagi mengejar mahkota, tetapi mengejar ridha Allah di tengah beratnya amanah.

Penutup: Mahkota Kerendahan Hati

Rasulullah ﷺ menunjukkan bahwa kemuliaan sejati tidak butuh singgasana. Beliau memerintah dunia tanpa tahta, mempengaruhi peradaban tanpa istana, dan dicintai milyaran manusia tanpa pasukan penjaga. Kekuatan beliau bukan pada kekuasaan, tetapi pada cahaya akhlak dan ketulusan.

Maka ketika dunia memuja tahta, Rasul justru mengajarkan kekuatan dalam kerendahan hati. Sebab pada akhirnya, mahkota paling agung adalah ketika seorang hamba tunduk sepenuhnya kepada Tuhannya.

Baca juga: Mengapa Al-Qur’an Selalu Mengkritik Raja-Raja Zalim?

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses

Scroll to Top