
Foto oleh Andrea Piacquadio: pexels.com
Setiap kali bangsa ini menemukan sosok pemimpin yang jujur dan berintegritas, entah mengapa langkahnya selalu terhenti lebih cepat. Rakyat bersorak ketika sosok itu muncul, tapi perlahan sorakan berubah menjadi bisu. Ada yang tersingkir karena politik, ada yang dipaksa diam oleh sistem, dan ada yang memilih mundur karena tidak sanggup melihat kebenaran ditertawakan.
Kita sering lupa bahwa di tengah sistem yang penuh intrik, kejujuran sering kali menjadi kelemahan, bukan kekuatan. Di negeri yang sedang belajar menjadi dewasa secara politik, kebaikan justru sering dianggap hambatan.
Sistem yang Tidak Ramah pada Kebaikan
Politik idealnya adalah jalan untuk memperjuangkan kepentingan rakyat. Namun dalam kenyataannya, politik sering berubah menjadi gelanggang transaksi. Di dalamnya, nilai dan moral menjadi barang dagangan, dan mereka yang menolak menjualnya dianggap tidak tahu cara bermain.
Pemimpin baik biasanya datang dengan idealisme. Mereka ingin memperbaiki sistem, bukan menyesuaikan diri dengan kebobrokan. Tapi di sinilah tragedi dimulai: sistem yang rusak tidak akan membiarkan seseorang memperbaikinya dengan cara bersih.
Pemimpin jujur tidak pandai menyusun strategi tipu muslihat. Ia percaya bahwa kerja nyata akan dilihat oleh rakyat. Sayangnya, dalam realitas politik, yang dilihat bukan lagi kerja, melainkan citra. Maka, mereka yang jujur seringkali kalah bukan karena salah, tapi karena tidak pandai berpura-pura.
Baca juga: Feodalisme Di Tanah Merdeka: Luka Lama yang Belum Sembuh
Rakyat yang Cepat Lupa dan Mudah Terkecoh
Kelemahan lain ada pada kita adalah rakyatnya. Kita ingin pemimpin yang bersih, tapi sering memilih mereka yang pandai bicara. Kita muak dengan janji, tapi tetap terpikat oleh janji baru. Kita berharap perubahan besar, tapi enggan bersabar dengan proses.
Pemimpin baik biasanya tidak menjanjikan hal yang muluk. Ia bicara apa adanya, dan terkadang jujurnya terdengar menyakitkan. Sementara yang pandai bersandiwara datang membawa mimpi indah, menabur harapan palsu yang menyenangkan telinga.
Rakyat yang cepat lelah akhirnya berpaling. Pemimpin baik kehilangan dukungan bukan karena gagal, tapi karena tidak mampu memuaskan keinginan instan masyarakat. Dan ketika ia pergi, barulah kita sadar betapa langkanya orang yang masih mau jujur di dunia yang penuh topeng.
Media dan Opini yang Bisa Dibeli
Di zaman sekarang, kekuasaan tidak lagi hanya ditentukan oleh kursi dan jabatan, tapi juga oleh siapa yang menguasai narasi. Media dan opini publik sering kali menjadi senjata yang lebih tajam dari senjata perang.
Pemimpin baik tidak selalu punya uang atau jaringan besar untuk mengatur opini. Mereka bicara dengan hati, bukan dengan iklan. Tapi sayangnya, ruang publik kini lebih sering dikuasai oleh suara paling keras, bukan suara paling benar.
Buzzer, propaganda, dan framing media membuat kebenaran terpinggirkan. Orang baik bisa dibuat tampak jahat, dan orang jahat bisa terlihat suci — asal punya cukup dana dan dukungan. Maka, bukan hanya pemimpin baik yang tersingkir, tapi juga nurani rakyat yang perlahan memudar.
Harapan yang Tidak Boleh Padam
Namun meski begitu, kebaikan tidak pernah benar-benar hilang. Sejarah mencatat, dari masa ke masa selalu ada orang-orang yang berani melawan arus. Mereka mungkin kalah dalam politik, tapi menang dalam hati rakyat yang sadar.
Pemimpin baik mungkin tersingkir hari ini, tapi mereka menanam benih yang akan tumbuh di generasi berikutnya. Setiap kejujuran yang dipaksa diam, akan melahirkan seribu suara baru yang tak bisa dibungkam.
Mungkin, pemimpin baik memang tidak lahir untuk populer, tapi untuk memberi teladan. Karena pada akhirnya, bangsa ini tidak akan maju oleh banyaknya penguasa, melainkan oleh sedikitnya pengkhianat.
Baca juga: Demokrasi dan Hukum Tuhan: Jalan Tengah Menuju Indonesia Berkah
