
Ilustrasi Ai Oleh Editor Aksara Merdeka
Media sosial kini telah menjadi ruang publik baru, tempat di mana ide, kritik, hingga provokasi bercampur menjadi satu. Di antara ragam konten yang beredar, kita sering menjumpai narasi yang menyebut pulau-pulau tertentu di Indonesia ingin memisahkan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Sekilas, narasi ini tampak seperti aspirasi nyata. Namun, jika ditelusuri lebih dalam, banyak di antaranya justru merupakan rekayasa akun anonim maupun kelompok berkepentingan yang ingin memecah belah persatuan.
Fenomena ini tidak bisa dianggap sepele. Indonesia dibangun dari beragam etnis, budaya, bahasa, dan agama yang dipersatukan oleh kesepakatan luhur: Sumpah Pemuda 1928 dan Proklamasi 1945.
Jika narasi disintegrasi terus didorong, bukan tidak mungkin sebagian masyarakat yang kurang kritis akan ikut terbawa arus. Pada titik inilah, literasi digital menjadi senjata penting untuk menjaga keutuhan bangsa.
Pola yang Berulang
Jika diperhatikan, akun-akun yang menghembuskan narasi separatisme memiliki pola serupa.
- Pertama, identitasnya tidak jelas. Foto profil generik, jumlah pengikut sedikit, dan aktivitasnya didominasi unggahan provokatif.
- Kedua, kontennya cenderung mengulang isu lama: ketidakadilan pembangunan, sejarah kerajaan masa lalu, atau eksploitasi sumber daya alam.
- Ketiga, mereka sering menggunakan bahasa emosional untuk menggiring opini publik, bukan menyodorkan data yang objektif.
Polanya mirip “akun bot” atau “troll” yang sengaja dibuat untuk menciptakan kegaduhan. Ada indikasi, sebagian narasi itu digerakkan oleh kelompok kecil separatis yang memang masih eksis.
Namun, penting digarisbawahi bahwa mereka tidak mewakili aspirasi mayoritas rakyat. Masyarakat di daerah-daerah tersebut tetap menjalani kehidupan sehari-hari dalam bingkai NKRI.
Motif di Balik Narasi
Mengapa narasi disintegrasi ini terus muncul? Setidaknya ada tiga motif utama.
- Pertama, kepentingan politik dalam negeri. Ada pihak yang mungkin ingin menggambarkan situasi negara seolah-olah tidak stabil, sehingga bisa dijadikan amunisi untuk kepentingan politik tertentu.
- Kedua, kepentingan luar negeri. Tidak tertutup kemungkinan ada aktor asing yang ingin melemahkan Indonesia dengan cara mengadu domba identitas bangsa.
- Ketiga, ketidakpuasan segelintir orang. Rasa kecewa terhadap pembangunan atau kebijakan pusat kerap dimanfaatkan untuk membenarkan tuntutan pemisahan diri.
Jika ditelaah, narasi ini lebih banyak memanfaatkan emosi ketimbang realitas. Faktanya, pembangunan di daerah memang masih menghadapi kesenjangan, tetapi pemerintah terus berupaya memperbaikinya melalui berbagai program infrastruktur, pendidikan, dan kesehatan. Ketidakpuasan seharusnya disampaikan melalui jalur demokrasi, bukan lewat provokasi pemecah belah.
Bahaya yang Mengintai
Narasi disintegrasi di media sosial bisa menjadi bom waktu jika dibiarkan. Dalam era digital, opini publik mudah dipengaruhi hanya dengan satu unggahan viral. Jika masyarakat tidak kritis, hoaks dan ujaran provokatif bisa dianggap sebagai kebenaran. Akibatnya, rasa kebangsaan bisa terkikis perlahan.
Sejarah membuktikan, banyak negara besar runtuh karena perpecahan internal, bukan serangan eksternal. Indonesia yang majemuk tentu rentan terhadap isu-isu identitas.
Karena itu, menjaga persatuan bukan hanya tugas pemerintah, melainkan juga masyarakat sipil, akademisi, tokoh agama, hingga generasi muda yang aktif di ruang digital.
Literasi Digital dan Ketahanan Bangsa
Apa yang bisa kita lakukan?
- Pertama, tingkatkan literasi digital.Seperti dicatat dalam laporan UNESCO, literasi digital merupakan salah satu benteng utama untuk melawan propaganda dan perang narasi global. Masyarakat perlu dibekali kemampuan untuk memverifikasi informasi, membedakan akun asli dengan akun palsu, serta memahami motif di balik narasi provokatif. Gerakan literasi digital tidak boleh hanya sebatas slogan, melainkan harus diimplementasikan dalam pendidikan formal, pelatihan komunitas, dan kampanye publik yang berkelanjutan.
- Kedua, perkuat ruang publik yang sehat. Diskusi kritis tetap penting, tetapi harus dibangun di atas data dan niat baik, bukan sekadar emosi. Dengan cara ini, masyarakat bisa terbiasa melihat perbedaan pendapat sebagai hal wajar, bukan ancaman.
- Ketiga, tegakkan hukum secara tegas. Akun-akun yang terang-terangan mengajak memisahkan diri dari NKRI harus ditindak sesuai aturan. Penegakan hukum yang konsisten akan memberikan efek jera sekaligus menunjukkan bahwa negara hadir dalam menjaga kedaulatan informasi.
Penutup
Lebih jauh lagi, pemerintah perlu menyeimbangkan pendekatan keamanan dengan pembangunan kesejahteraan. Rakyat yang sejahtera, merasa adil, dan didengar suaranya akan lebih kebal terhadap godaan narasi separatis.
Sebaliknya, jika ketidakadilan dibiarkan, ruang kosong itu bisa diisi oleh provokator. Fenomena perang narasi ini sebenarnya tidak bisa dilepaskan dari [kelemahan demokrasi] yang memberi ruang luas bagi manipulasi opini publik.
Narasi disintegrasi di media sosial pada dasarnya adalah ujian bagi persatuan bangsa. Ia bisa menjadi ancaman, tetapi sekaligus peluang bagi kita untuk memperkuat ketahanan nasional. Kuncinya ada pada literasi digital, keadilan sosial, dan keteguhan kita menjaga warisan para pendiri bangsa.
Mayoritas rakyat Indonesia masih percaya bahwa persatuan lebih berharga daripada perpecahan. Tugas kita bersama adalah memastikan keyakinan itu tetap terjaga, sekalipun badai provokasi datang dari dunia maya. NKRI bukan sekadar konsep geografis, tetapi rumah bersama yang harus kita rawat dengan kesadaran, kebijaksanaan, dan cinta tanah air.
Persatuan yang kokoh tidak lahir dengan sendirinya. Ia tumbuh dari kebiasaan saling percaya, menghargai, dan menjaga satu sama lain. Dalam dunia digital yang serba cepat, membangun kebiasaan itu memang tantangan besar.
Namun justru di situlah letak perjuangan generasi kita: membuktikan bahwa bangsa Indonesia tidak hanya mampu merdeka secara politik, tetapi juga berdaulat dalam ruang informasi.
Baca juga: Demokrasi dan Hukum Tuhan: Jalan Tengah Menuju Indonesia Berkah
