
Di sebagian besar masyarakat Jawa, weton masih menjadi bagian dari percakapan sehari-hari. Bukan hanya untuk menentukan hari baik pernikahan, tetapi juga untuk menilai kecocokan jodoh, karakter anak, hingga peluang rezeki.
Tradisi ini diwariskan turun-temurun, dirawat oleh masyarakat agraris yang hidup berdampingan dengan alam, simbol, dan perhitungan spiritual.
Namun dunia hari ini tidak lagi sama. Kita hidup di era sains, pendidikan formal, internet, serta mobilitas sosial yang tinggi. Pertanyaannya bukan “apakah weton harus dibuang,” melainkan bagaimana kita menyikapinya secara sehat, proporsional, dan tidak melemahkan diri sendiri.
Weton sebagai Produk Budaya, Bukan Penentu Nasib
Weton lahir dari peradaban Jawa kuno ketika masyarakat belum mengenal ilmu psikologi, manajemen risiko, atau kalender modern. Cara mereka membaca tanda-tanda alam, pola kelahiran, dan siklus waktu adalah bentuk kearifan lokal yang harus dihormati.
Namun penting dipahami, weton bukan hukum alam, apalagi hukum agama. Dia adalah sistem budaya.
Ketika weton dijadikan alat memahami kecenderungan karakter, itu masih bisa diterima sebagai cara tradisional membaca sifat manusia. Tetapi ketika weton dianggap menentukan rezeki, perjodohan, kesialan, bahkan umur seseorang, di sinilah distorsi terjadi.
Budaya seharusnya memperkuat manusia, bukan membuat mereka takut melangkah.
Baca juga: Weton dan MBTI: Dua Cara Berbeda untuk Mengenal Diri
Islam Tidak Menolak Budaya, Tapi Menolak Keyakinan yang Melemahkan
Islam datang bukan untuk menghapus budaya, melainkan meluruskan keyakinan manusia agar tidak bergantung pada ramalan. Karena itu, Rasulullah SAW menolak semua bentuk tathayyur (meramal nasib dengan tanda-tanda tertentu).
Rasulullah bersabda: “Tidak ada thiyarah (meramal nasib dengan pertanda).” (HR. Bukhari & Muslim)
Ini bukan berarti budaya Jawa salah. Yang salah adalah jika weton dipercayai sebagai takdir yang pasti, sehingga menimbulkan ketakutan, keraguan, atau diskriminasi dalam hubungan sosial. Keyakinan kepada simbol tidak boleh menggeser keyakinan kepada Tuhan.
Psikologi Modern: Ramalan Bisa Menjadi Self-Fulfilling Prophecy
Secara ilmiah, weton sering bekerja bukan karena ia benar, tetapi karena manusia mudah dipengaruhi sugesti. Fenomena ini dikenal sebagai self-fulfilling prophecy.
Contoh:
Seseorang yang diberi tahu wetonnya “sial” akan menjadi lebih cemas, ragu-ragu, dan pesimis, sehingga akhirnya benar-benar mengalami kesialan karena mentalnya lemah.
Sebaliknya, orang yang yakin wetonnya “kuat” bisa menjadi percaya diri, rajin berusaha, dan akhirnya sukses. Jadi bukan wetonnya yang berpengaruh tetapi pola pikir manusianya yang membentuk hasilnya.
Di era psikologi modern, karakter seseorang ditentukan oleh: pola asuh keluarga, lingkungan sosial, pendidikan, pengalaman hidup, kemampuan adaptasi, kesehatan mental. Bukan hari kelahirannya.
Hidup Bergerak oleh Ilmu dan Keputusan, Bukan Perhitungan Hari
Jika weton menentukan rezeki, maka dokter, ilmuwan, programmer, guru, dan wirausahawan yang lahir di “weton buruk” seharusnya gagal semua. Faktanya? Tidak ada korelasi.
Kesuksesan hari ini ditentukan oleh kompetensi, kerja keras, peluang, literasi finansial, jaringan sosial, dan keberanian mengambil keputusan.
Allah pun menegaskan: “Dan bahwa manusia tidak memperoleh selain apa yang telah diusahakannya.”(QS. An-Najm: 39)
Jadi weton bisa dihormati sebagai budaya, tetapi dasar langkah hidup tetaplah ilmu dan usaha.
Baca juga: Mengapa Weton Jodoh Kadang Tepat, Kadang Tidak?
Tradisi Tidak Perlu Dibuang, Tapi Perlu Ditempatkan di Tempatnya
Jalan terbaik adalah mengambil sikap moderat: weton sebagai tradisi boleh dihargai, tetapi tidak boleh mengontrol hidup kita.
Sama seperti memakai batik di hari tertentu, menjalankan adat dalam pernikahan, menghormati leluhur dengan cara-cara kultural.
Itu semua bagian dari identitas, bukan penentu takdir. Jika keluarga ingin mempertimbangkan weton saat memilih tanggal pernikahan, itu tidak masalah.
Yang bermasalah adalah ketika:
- jodoh dibatalkan hanya karena “wetonnya tidak cocok,”
- seseorang dianggap “pembawa sial,”
- keputusan ekonomi diatur berdasarkan rumus spiritual,
- anak diberi label negatif sejak lahir.
Adat dihormati, akal harus tetap berjalan.
Era Modern Membutuhkan Manusia Rasional, Bukan Manusia yang Takut Pada Hitungan
Bangsa ini tidak akan maju jika masyarakat takut bergerak karena “angka hari kelahiran.”
Negara dibangun oleh insinyur yang membuat jembatan, guru yang mencerdaskan generasi, petani dan nelayan yang menghidupi bangsa, dokter yang menyembuhkan, pemimpin yang adil, rakyat yang berpikir jernih.
Tidak ada satupun dari mereka yang berhasil hanya karena wetonnya kuat. Kesuksesan adalah hasil dari iman, ilmu, dan kerja keras, bukan hitungan wuku dan pasaran.
Kesimpulan: Weton Boleh Dijaga Sebagai Budaya, Tapi Pegangan Hidup Tetap Iman dan Akal
Weton adalah warisan budaya yang indah. Ia menghubungkan kita dengan leluhur, sejarah, dan identitas Jawa. Namun budaya harus sejajar dengan akal sehat, bukan berdiri di atasnya.
Menyikapi weton di era modern berarti menghargai tradisi tanpa menjadikannya takdir, mengutamakan ilmu dan psikologi dalam membaca karakter, menempatkan iman di atas simbol, mengambil keputusan hidup dengan rasional dan penuh tanggung jawab.
Pada akhirnya, manusia ditentukan oleh apa yang ia pilih, bukan di hari apa ia dilahirkan. Dan Tuhan telah menegaskan jalan itu: iman + ilmu + usaha = derajat manusia meningkat.
Baca juga: Asal Usul Weton dan Filsafat di Baliknya
