Jejak Monoteisme di Nusantara: Antara Fitrah, Sejarah, dan Misteri Ketuhanan

Jejak Monoteisme dan Spiritualitas Kuno di Nusantara

Ilustrasi Ai Oleh Editor Aksara Merdeka

Pendahuluan

Setiap bangsa memiliki kisah tentang asal-usul keyakinannya. Namun di antara beragam kepercayaan yang lahir di dunia, selalu ada satu benang merah yang tak pernah putus: pengakuan terhadap satu kekuatan tertinggi — Tuhan Yang Esa atau Monoteisme. Menariknya, jejak spiritual seperti ini juga muncul di bumi Nusantara, jauh sebelum kedatangan agama-agama samawi.

Sejumlah naskah kuno, simbol arkeologis, dan tradisi lisan menunjukkan bahwa masyarakat kepulauan ini telah mengenal konsep ketuhanan tunggal, meski tanpa menyebut nama yang sama. Mereka tidak menuhankan berhala, tidak pula membangun kuil untuk banyak dewa, melainkan memuja kekuatan tak terlihat yang mereka yakini sebagai sumber kehidupan.

Pertanyaan pun muncul: apakah kesadaran ketuhanan ini tumbuh alami dari budaya Nusantara sendiri, ataukah sisa dari ajaran para nabi yang pernah singgah di masa lampau?Artikel ini mencoba menelusuri jejak-jejak monoteisme itu — antara fitrah manusia, bukti sejarah, dan misteri yang masih menyelimuti spiritualitas bangsa kita.

1️⃣ Ketuhanan: Fitrah yang Muncul di Mana Saja

Manusia tidak perlu diajari untuk mengenal Tuhan. Dalam dirinya sudah ada dorongan alami untuk mencari sumber kehidupan. Fitrah inilah yang membuat setiap peradaban — bahkan yang tidak saling terhubung — akhirnya mengenal konsep Yang Maha Esa.

Nusantara tidak terkecuali. Sebelum Islam datang, masyarakat di berbagai pulau sudah memiliki keyakinan akan Tuhan tunggal, meskipun tanpa kitab tertulis. Namun uniknya, mereka tidak menyembah berhala atau patung seperti peradaban Mesir atau Yunani kuno. Mereka memuja kekuatan tak terlihat yang mencipta, menjaga, dan meniadakan kehidupan.

Inilah yang membuat banyak sejarawan modern mulai bertanya:Apakah spiritualitas ketuhanan di Nusantara lahir dari budaya sendiri, atau sisa dari ajaran nabi yang terlupakan?

2️⃣ Jejak Arkeologis dan Simbolisme Ketuhanan

Beberapa peneliti arkeologi menemukan simbol-simbol tua di situs-situs kuno seperti Gunung Padang, Candi Sukuh, dan peninggalan megalitik Nias yang memperlihatkan penghormatan pada satu kekuatan tertinggi, bukan banyak dewa.

Simbol matahari tunggal, pohon kehidupan, dan bentuk segitiga sering dianggap lambang Tuhan atau sumber kehidupan. Hal menariknya: simbol serupa ditemukan juga di Timur Tengah dan Afrika Utara — wilayah para nabi dahulu.

Artinya, ada pola spiritual universal yang melintasi batas geografis dan bahasa, seakan semua peradaban memandang ke arah Tuhan yang sama.

3️⃣ Ajaran Lisan: Warisan dari Masa yang Hilang

Masyarakat Nusantara dikenal sebagai bangsa lisan. Nilai dan ajaran diturunkan melalui petuah, pantun, dan mitos, bukan tulisan. Ketika ajaran ini disampaikan turun-temurun, banyak yang berubah bentuk. Nilai ketuhanan yang dulu murni akhirnya bercampur dengan unsur magis dan ritual adat.

Namun bila dilihat lebih dalam, inti pesan itu tetap sama: ada zat tertinggi yang tidak dapat dilihat tetapi nyata keberadaannya.

Bagi sebagian peneliti agama, ini menunjukkan bahwa ajaran tauhid bisa saja pernah ditanamkan di Nusantara, lalu kabur bentuknya karena waktu dan percampuran budaya.

4️⃣ Bukti Psikologis dan Sosial

Riset antropologi modern menunjukkan bahwa manusia memiliki “insting religius” — dorongan alami untuk mencari sesuatu yang lebih tinggi dari dirinya. Jadi, bila masyarakat kuno di Nusantara mengenal Tuhan tanpa pengaruh luar, itu bukan kebetulan.

Itu adalah bukti bahwa fitrah tauhid melekat di dalam diri manusia sejak diciptakan. Islam hanya datang untuk menegaskan dan menyempurnakan sesuatu yang sudah lama ada, tapi terlupakan.

5️⃣ Cahaya yang Tak Pernah Padam

Sejarah spiritual Nusantara mengajarkan bahwa Tuhan tidak pernah absen dari perjalanan bangsa ini. Mungkin nama-Nya berbeda, cara penyembahannya beragam, tetapi esensinya tetap sama: pencarian manusia terhadap sumber kebenaran.

Seperti firman Allah dalam QS. Al-A’raf ayat 172:

“Bukankah Aku ini Tuhanmu?” Mereka menjawab: Benar (Engkau Tuhan kami).”

Ayat itu bukan hanya kisah, tapi pengingat bahwa setiap bangsa — termasuk Indonesia — pernah bersaksi di hadapan Tuhan. Jadi, meski catatan sejarahnya hilang, spirit ilahi itu tetap hidup di tanah ini.

Mungkin itulah sebabnya, setiap kali kegelapan datang, selalu muncul cahaya dari Timur — tempat di mana fitrah ketuhanan pernah bersemi sejak awal waktu.

Penutup

Setiap kali kita menelusuri sejarah, kita sebenarnya sedang menelusuri cermin hati manusia.
Dan dari cermin itu, selalu ada pantulan yang sama — bahwa di balik beragam budaya, bahasa, dan peradaban, manusia tetap satu: makhluk yang mencari Tuhan.

Baca juga: Apakah Pernah Ada Nabi Di Tanah Nusantara?

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses

Scroll to Top