
Ilustrasi Ai Oleh Redaksi Aksara Merdeka
Sejarah Nusantara menyimpan banyak misteri. Dari ukiran batu di Gunung Padang, mantra kuno, hingga sistem kepercayaan yang mengenal Tuhan tunggal, semua memberi satu pertanyaan besar: Apakah mungkin pernah ada nabi atau utusan Tuhan yang diutus ke wilayah ini?
Pertanyaan itu bukan sekadar imajinasi, tetapi refleksi dari logika spiritual dan sejarah panjang manusia yang terus mencari cahaya kebenaran.
Setiap Bangsa Pasti Pernah Mendapat Utusan
Al-Qur’an menegaskan dengan jelas:
“Dan sesungguhnya Kami telah mengutus seorang rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan): ‘Sembahlah Allah dan jauhilah thaghut.’”(QS. An-Nahl: 36)
Artinya, setiap umat di muka bumi ini pasti pernah menerima seruan tauhid — termasuk bangsa yang mendiami kepulauan Nusantara.
Rasulullah ﷺ pun menjelaskan dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Abu Dzar radhiyallahu ‘anhu:
“Aku (Abu Dzar) bertanya, ‘Wahai Rasulullah, berapa jumlah para nabi? ’Beliau menjawab, ‘Seratus dua puluh empat ribu (124.000).’ Aku bertanya lagi, ‘Berapa jumlah para rasul di antara mereka?’ Beliau menjawab, ‘Tiga ratus lima belas (315), banyak sekali.’”(HR. Ahmad, no. 21257; dishahihkan oleh Al-Albani dalam As-Silsilah Ash-Shahihah no. 157)
Hadis ini memperkuat bahwa nabi dan rasul diutus di seluruh penjuru dunia, bukan hanya di Timur Tengah. Karena itu, kemungkinan adanya nabi yang pernah diutus di wilayah Nusantara sangat besar.
Jejak Monoteisme Kuno Di Tanah Air
Sebelum Hindu dan Buddha datang ke Nusantara, masyarakat di banyak daerah sudah mengenal konsep Tuhan tunggal. Beberapa di antaranya:
- Sunda Wiwitan mengenal Sang Hyang Kersa — Tuhan yang Maha Esa.
- Kejawen menyebut Sang Hyang Tunggal sebagai sumber segala kehidupan.
- Batak Parmalim memuja Debata Mulajadi Nabolon, Tuhan pencipta alam semesta.
- Dayak Kaharingan mengenal Ranying Hatalla Langit, Tuhan tertinggi yang tidak berwujud.
Menariknya, semua ajaran itu tidak menyembah berhala seperti di banyak peradaban kuno lain. Mereka mengenal doa, alam, dan moralitas yang sangat spiritual. Maka bukan mustahil bahwa ajaran itu adalah sisa ajaran tauhid dari nabi-nabi terdahulu, yang lambat laun terdistorsi oleh budaya lokal dan waktu.
Logika Sejarah: Dakwah Tersebar Seiring Peradaban
Sejak ribuan tahun lalu, Nusantara sudah menjadi jalur perdagangan internasional. Pelaut Austronesia menjelajah sampai Madagaskar dan pesisir India. Artinya, kontak budaya dan keyakinan sudah terjadi ribuan tahun silam.
Ada dua kemungkinan besar:
1. Nabi lokal pernah diutus khusus untuk masyarakat kepulauan ini, dengan bahasa dan cara yang sesuai zaman mereka.
2. Pengaruh dakwah dari nabi di wilayah lain (seperti India Selatan atau Timur Tengah) menyebar melalui para pelaut dan pedagang.
Keduanya masuk akal dan sejalan dengan prinsip keadilan Tuhan — bahwa tidak ada satu pun umat yang dibiarkan tanpa bimbingan wahyu.
Ajaran yang Berubah Menjadi Budaya
Kalau kita perhatikan, banyak kearifan lokal di Nusantara yang memiliki makna spiritual mendalam: larangan serakah, hormat kepada alam, kesederhanaan, hingga konsep keseimbangan. Itu semua mengandung pesan moral universal yang selaras dengan nilai-nilai tauhid.
Sayangnya, ketika agama-agama besar datang dan politik kerajaan berkembang, ajaran asli itu berubah menjadi “kepercayaan tradisional”. Sebagian dianggap animisme, padahal mungkin awalnya ajaran suci yang telah kabur bentuknya.
Jejak Wahyu yang Hilang Tetapi Tidak Padam
Kalau kita percaya bahwa Tuhan mengutus nabi ke setiap bangsa, maka kita juga harus percaya bahwa tanah ini pun pernah disapa wahyu. Mungkin nama sang nabi hilang, kitabnya musnah, atau ajarannya tereduksi menjadi legenda.
Namun, sisa-sisanya masih terasa:
- Dalam kebiasaan orang Indonesia yang mudah tersentuh hal spiritual.
- Dalam budaya gotong royong yang berakar pada rasa kemanusiaan.
- Dalam pepatah-pepatah kuno yang berbicara tentang keseimbangan hidup.
Itu bukan kebetulan. Itu adalah gema jauh dari seruan para nabi yang pernah menjejak bumi ini.
Mungkin sejarah tidak sempat menulis nama mereka, tapi angin Nusantara masih menyimpan doa-doa mereka di udara, di laut, dan di hutan.
Dan mungkin, lewat kita yang hidup hari ini —cahaya itu sedang dipanggil kembali untuk mengingatkan bangsa ini agar tidak lupa pada fitrahnya: bahwa manusia diciptakan untuk mengenal dan menyembah Tuhan yang satu.
Kesimpulan
Apakah pernah ada nabi di tanah Nusantara?Kita tidak punya bukti arkeologis yang pasti. Tapi dari jejak spiritual dan warisan budaya, kita bisa merasakan bahwa benih tauhid pernah tumbuh di sini.
Dan mungkin, tugas generasi kita bukan mencari siapa nabinya, tapi meneruskan pesan yang sama: bahwa Tuhan itu satu, dan manusia seharusnya bersatu — bukan saling menjajah atas nama agama atau kekuasaan.
Baca juga: Kenapa Indonesia Dulu Jarang Mencatat Sejarah Dunia?
