
Ilustrasi Ai Oleh Redaksi Aksara Merdeka
Pernahkah anda meminjamkan uang kepada seseorang dengan penuh kepercayaan, tapi seiring waktu, orang itu seolah benar-benar lupa? Ia masih bisa tertawa, masih aktif di media sosial, bahkan kadang membeli barang baru — seolah tidak ada kewajiban mengembalikan hutang yang tertinggal.
Fenomena ini sering kita lihat di sekitar kita. Dan yang menarik, bukan hanya karena “tidak punya uang”, tapi karena ada faktor psikologis, sosial, dan spiritual yang lebih dalam di balik sikap lupa tersebut.
1. Secara Psikologis: Lupa Sebagai Mekanisme Pertahanan Diri
Dalam dunia psikologi, lupa sering kali bukan benar-benar lupa, tapi bentuk mekanisme pertahanan diri (defense mechanism). Saat seseorang berhutang, ia menyadari bahwa ada kewajiban moral yang belum ditunaikan.
Namun, kesadaran itu menimbulkan rasa tidak nyaman, rasa bersalah, dan bahkan malu. Untuk mengurangi tekanan batin itu, otak memilih jalan pintas: menekan memori tentang hutang ke alam bawah sadar.
Fenomena ini disebut cognitive dissonance — ketidaksesuaian antara keyakinan dan perilaku. Seseorang ingin dianggap baik, tapi tindakannya tidak sesuai dengan nilai moral yang ia yakini. Maka otak “mematikan” rasa bersalah itu dengan cara menghindar dari topik hutang.
Inilah mengapa banyak orang yang bisa tersenyum tenang meski tahu masih berhutang. Ia merasa damai bukan karena sudah melunasi, tapi karena berhasil “menipu” pikirannya sendiri.
2. Secara Moral: Ketika Nurani Mulai Tumpul
Setiap kali seseorang menunda tanggung jawab, nuraninya sedikit demi sedikit kehilangan ketajaman. Awalnya mungkin ia merasa bersalah, namun ketika dibiarkan berulang kali, perasaan itu perlahan hilang. Ia mulai terbiasa menipu dirinya sendiri dengan kalimat seperti, “Nanti juga bisa bayar,” atau “Dia pasti maklum.”
Padahal, dalam konteks moral, hutang bukan sekadar urusan uang, tapi ukuran integritas seseorang. Menunda membayar tanpa alasan yang jelas berarti menurunkan nilai diri sendiri. Karena orang yang memegang janji sejatinya bukan diukur dari kemampuan ekonominya, melainkan dari ketulusannya menepati kata-kata.
Baca juga: Mengapa Orang Dermawan Justru Lebih Mudah Kaya?
3. Secara Sosial: Budaya Memaklumi yang Salah
Fenomena “lupa hutang” juga tumbuh karena budaya sosial yang permisif. Kita hidup dalam masyarakat yang sering kali menganggap wajar menunda, apalagi kalau yang meminjam itu teman dekat. Ucapan seperti “Ah, nggak apa-apa, nanti juga dibayar” terdengar ringan, tapi justru memperkuat pola kelalaian.
Dalam jangka panjang, budaya ini menumpulkan tanggung jawab sosial. Hubungan antar individu rusak bukan karena jumlah uangnya besar, tapi karena kepercayaan yang hilang. Dan ketika rasa percaya hilang, sebuah masyarakat perlahan kehilangan sendi moralnya.
4. Secara Spiritual: Hutang Tidak Hilang di Akhirat
Dalam pandangan Islam, hutang adalah amanah yang sangat serius. Rasulullah ﷺ bersabda:
“Ruh seorang mukmin tergantung dengan hutangnya sampai hutang itu dilunasi.” (HR. Tirmidzi)
Artinya, urusan hutang tidak selesai hanya karena waktu berlalu. Di dunia seseorang bisa pura-pura lupa, tapi di hadapan Allah, tidak ada satu janji pun yang terhapus.
Melupakan hutang berarti menunda pertanggungjawaban, bukan hanya kepada manusia, tapi juga kepada Tuhan. Setiap rupiah yang belum dikembalikan adalah saksi dari janji yang belum ditepati.
5. Secara Ego dan Harga Diri: Ilusi Kendali
Ada pula faktor ego yang tidak kalah berbahaya. Sebagian orang merasa “berkuasa” setelah berhasil meminjam dan tidak langsung ditagih. Ia menunda, menunggu, dan diam-diam menikmati kenyamanan palsu dari kelonggaran orang lain. Padahal, setiap penundaan adalah penambahan beban moral.
Harga diri seseorang tidak diukur dari seberapa banyak ia punya, tapi seberapa jujur ia menunaikan apa yang menjadi tanggung jawabnya. Ketika seseorang bisa mengembalikan meski dalam kesulitan, itulah kemenangan sejati atas egonya.
Kesimpulan: Lupa Boleh, Tapi Jangan Untuk Amanah
Fenomena orang yang berhutang lalu “lupa” bukan sekadar persoalan ekonomi, tapi cermin dari kondisi moral dan psikologis masyarakat.
Lupa bisa jadi bentuk pelarian diri, bisa juga akibat budaya permisif yang membiarkan kebohongan kecil tumbuh menjadi kebiasaan besar.
Namun, di atas segalanya, hutang tetaplah amanah. Ia menguji seberapa kuat seseorang menjaga kata dan janji. Karena uang memang bisa dicari, tapi kepercayaan dan harga diri yang hilang sulit digantikan.
Baca juga: Mengapa Kita Bahagia Setelah Memberi?
