Dari Raden Wijaya ke Para Pendiri Bangsa: Memperdaya Penjajah demi Kemerdekaan

Foto: Arsip Nasional Republik Indonesia / Wikimedia Commons (Domain Publik)

Bangsa ini tidak lahir dari kekuatan senjata, tapi dari kecerdikan dan kesabaran. Sejak masa kerajaan, nenek moyang kita sudah tahu bahwa kadang cara terbaik melawan kekuasaan besar bukan dengan perlawanan terbuka, melainkan dengan memanfaatkan keserakahan mereka untuk menumbuhkan kekuatan kita sendiri.

Dari Raden Wijaya pada abad ke-13 hingga Sukarno dan Hatta pada abad ke-20, pola perjuangan bangsa ini punya satu benang merah:

“Penjajah datang membawa senjata, kita jawab dengan akal.”

Raden Wijaya dan Mongol: Menundukkan Raksasa Dunia dengan Tipu Daya

Tahun 1293, Mongol datang ke Jawa. Kubilai Khan, penguasa terbesar dunia waktu itu, ingin menghukum Raja Kertanegara dari Singhasari yang menolak tunduk pada kekaisaran Mongol. Tapi saat ribuan pasukan Mongol berlabuh, mereka menemukan situasi berbeda — Kertanegara telah gugur dibunuh Jayakatwang dari Kediri.

Di tengah kekacauan itu, muncul sosok Raden Wijaya, menantu Kertanegara. Dengan kepiawaian luar biasa, ia berpura-pura tunduk pada Mongol dan bersekutu untuk menghancurkan Jayakatwang. Tapi setelah Jayakatwang tumbang, Raden Wijaya berbalik menyerang pasukan Mongol ketika mereka sedang lengah.

Kekuatan yang datang untuk menjajah akhirnya diperalat untuk menghancurkan musuh lama, lalu diusir dari Jawa. Dari strategi itu, lahirlah kerajaan besar Majapahit.

“Raden Wijaya bukan hanya pendiri kerajaan, tapi pendiri pola pikir Nusantara — bahwa kecerdikan lebih tajam dari pedang.”

Jepang dan Para Pendiri Bangsa: Menunggangi Kekuasaan untuk Merdeka

Enam setengah abad kemudian, pola itu terulang — kali ini dalam skala dunia modern. Tahun 1942, Jepang datang ke Indonesia dengan slogan manis:

“Asia untuk Orang Asia”

Banyak rakyat menyambut dengan harapan lepas dari Belanda. Namun kenyataannya, Jepang tetap penjajah — mereka memeras tenaga rakyat untuk kepentingan perang.

Tetapi di balik penderitaan itu, ada celah politik yang dibaca oleh para pemimpin bangsa. Sukarno, Hatta, Radjiman, Soepomo, dan para tokoh nasionalis sadar bahwa Jepang membutuhkan dukungan rakyat agar perang Asia Timur Raya tetap berjalan. Mereka memanfaatkan kebutuhan itu untuk menuntut pembentukan lembaga politik: BPUPKI dan PPKI.

Lewat forum inilah para pendiri bangsa menyusun dasar negara, merumuskan Pancasila, dan menyiapkan segala infrastruktur kemerdekaan. Mereka tampak bekerja sama, padahal sesungguhnya mereka sedang menyiapkan jalan untuk meninggalkan Jepang.

Dan ketika Jepang kalah karena bom atom di Hiroshima dan Nagasaki, rakyat Indonesia sudah siap sepenuhnya. Dalam hitungan hari, proklamasi dikumandangkan — tanpa izin, tanpa penundaan, tanpa keraguan.

“Jepang ingin memanfaatkan Indonesia, tapi Indonesia yang memanfaatkan Jepang untuk melahirkan dirinya sendiri.”

Masa Persiapan Kemerdekaan: Drama Paling Cerdas dalam Sejarah Dunia

Menjelang 17 Agustus 1945, sejarah Indonesia berubah menjadi panggung drama politik paling menegangkan. Semua bergerak cepat — antara diplomasi, keberanian, dan intuisi sejarah.

Rengasdengklok: para pemuda menculik Sukarno-Hatta agar segera memproklamasikan kemerdekaan tanpa menunggu izin Jepang.

Rumah Laksamana Maeda: perwira Jepang justru memberi ruang aman bagi penyusunan teks proklamasi.

Fatmawati: menjahit bendera merah putih sambil mengandung, simbol kehidupan baru yang lahir dari rahim bangsa sendiri.

Upacara sederhana di Pegangsaan Timur: tiang bambu, halaman rumah, rakyat biasa — tapi semangat yang mengguncang dunia.

Di balik tiap peristiwa itu, ada satu benang merah yang sama dengan masa Majapahit:

“Kita tidak sekadar menunggu keajaiban. Kita menciptakannya dari celah yang ditinggalkan musuh.”

Dua Zaman, Satu Strategi

Raden Wijaya menggunakan tipu daya politik. Sukarno dan Hatta menggunakan strategi diplomasi. Keduanya tidak punya kekuatan besar, tapi punya kecerdikan yang luar biasa.

Mereka tahu kapan harus menunduk, dan kapan harus berdiri. Mereka tahu kapan harus berpura-pura lemah, dan kapan harus berbalik menyerang. Dan yang terpenting: mereka tahu musuh terbesar bukan bangsa asing, tapi ketidaksabaran dan keserakahan sendiri.

“Dari Majapahit hingga Proklamasi, bangsa ini selalu menang bukan karena senjata, tapi karena kemampuan membaca waktu dan hati lawan.”

Sejarah Cermin Zaman

Sejarah bukan sekadar kenangan, tapi cermin zaman. Kita hidup di era baru, tapi penjajahan belum benar-benar lenyap. Bentuknya lebih halus — melalui ekonomi, budaya, dan teknologi.

Dan seperti Raden Wijaya dan para pendiri bangsa, kita masih dituntut untuk cerdik memperdaya kekuasaan global tanpa kehilangan moral.

“Bangsa ini lahir dari kecerdikan. Tapi hanya bisa bertahan jika tetap bermoral.”

Kemerdekaan sejati bukan hanya soal bebas dari penjajah, tetapi kemampuan untuk berdiri di dunia yang penuh manipulasi tanpa ikut menjadi manipulator.

Penutup

Bangsa yang pernah memperdaya Mongol dan Jepang tidak boleh kalah oleh ketamakan zaman modern. Kita mewarisi darah para pemikir yang bisa memanfaatkan badai untuk berlayar, bukan tenggelam.

Dan selama kecerdikan itu hidup bersama kejujuran, Indonesia akan terus merdeka — lahir, tumbuh, dan menang, dengan caranya sendiri.

“Mereka datang dengan senjata, kita sambut dengan pikiran. Mereka datang membawa tipu daya, kita balas dengan kebijaksanaan.”

Baca juga: Ketika Jepang Mengaku Saudara Tua: Cara Cerdas Founding Fathers Memanfaatkan Penjajahan

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses

Scroll to Top