
Ilustrasi Ai Oleh Editor Aksara Merdeka
Dalam kehidupan sehari-hari, banyak hubungan rusak bukan karena niat jahat, tapi karena hutang yang tidak dicatat. Awalnya saling percaya, tapi ketika waktu berjalan dan ingatan mulai kabur, muncul perbedaan cerita.
Yang memberi merasa dilupakan, yang meminjam merasa dituduh. Padahal, semua bisa dicegah andai di awal ada satu langkah sederhana: menulisnya. Islam, agama yang sempurna dalam mengatur kehidupan, ternyata telah memberikan solusi sosial paling bijak untuk hal ini.
Solusi itu tercantum dalam ayat terpanjang dalam Al-Qur’an, yaitu QS. Al-Baqarah ayat 282.
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermuamalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya…”(QS. Al-Baqarah: 282)
Ayat ini tidak hanya perintah administratif, tapi juga pedoman moral dan psikologis. Allah tahu bahwa manusia mudah lupa, cepat berubah, dan kadang lebih dikuasai emosi daripada nalar.
Maka, Islam mengajarkan agar setiap hutang ditulis dengan benar, dihadirkan saksi yang adil, dan disampaikan secara jujur.
Catatan: Bukan Sekadar Tulisan, Tapi Pengikat Amanah
Menulis hutang bukan tanda tidak percaya, justru sebaliknya — tanda bahwa kedua pihak ingin menjaga hubungan agar tetap bersih dari salah paham. Tulisan menjadi pengingat yang objektif ketika ingatan memudar.
Dari sisi psikologi modern, mencatat kewajiban membantu otak menyimpan tanggung jawab itu di memori jangka panjang. Artinya, seseorang akan lebih sulit “melupakan” hutang ketika ia pernah menuliskannya secara formal. Tulisan menciptakan rasa komitmen dan mendorong rasa tanggung jawab lebih kuat.
Saksi: Penjaga Keadilan Sosial
Selain menulis, Al-Qur’an juga memerintahkan agar dihadirkan dua saksi laki-laki. Hal ini bukan semata soal gender, tapi tentang kekuatan kesaksian dan tanggung jawab sosial.
Saksi menjadi pelindung kebenaran ketika salah satu pihak lupa atau mengelak. Dalam praktiknya, ini membangun budaya jujur di masyarakat — bahwa setiap transaksi bukan urusan pribadi semata, tapi juga amanah sosial.
Islam dengan sangat halus mengajarkan transparansi, tanggung jawab, dan keadilan sejak 14 abad yang lalu — jauh sebelum sistem hukum modern mengenal kontrak tertulis.
Mencegah Luka Sebelum Terjadi
Berapa banyak hubungan persaudaraan hancur hanya karena urusan hutang yang tak tertulis?Seseorang mungkin berniat baik meminjamkan, tapi karena tak ada bukti, akhirnya malah dituduh serakah.
Sebaliknya, yang berhutang pun bisa merasa dipermalukan karena tidak ada kesepakatan yang jelas. Ayat ini hadir untuk mencegah luka sebelum terjadi. Dengan catatan dan saksi, manusia dijauhkan dari prasangka, perdebatan, dan dosa sosial yang lahir dari kelalaian.
Tulisan yang Menjaga Hati
Jika dulu catatan dilakukan di atas kertas dan tinta, kini bisa dalam bentuk digital, pesan tertulis, atau tanda tangan elektronik. Esensinya tetap sama: menjaga kejujuran dan kehormatan diri.
Ketika seseorang berani mencatat hutangnya, itu bukan tanda lemah — tapi bukti bahwa ia berani bertanggung jawab atas kata-katanya. Sebaliknya, menolak mencatat bisa menjadi tanda ego yang tidak siap diawasi.
Maka, menulis hutang bukan hanya soal angka, tapi soal hati yang jujur. Karena dalam setiap huruf yang ditulis, tersimpan niat baik untuk menjaga amanah.
Penutup
Al-Qur’an bukan hanya kitab petunjuk akhirat, tapi juga panduan sosial yang luar biasa rinci. Ayat tentang hutang ini adalah bukti bagaimana Allah memahami sifat manusia yang mudah lupa dan rapuh.
Dengan perintah menulis dan menghadirkan saksi, Allah mengajarkan kita cara menghindari lupa, menjaga hubungan, dan menegakkan keadilan dalam setiap transaksi. Karena janji yang ditulis adalah janji yang dijaga. Dan hutang yang diingat adalah cermin dari hati yang masih hidup.
