
Di saat sebagian bangsa sibuk berdebat siapa yang paling berjasa, ada sekelompok insinyur di Bandung yang diam-diam bekerja dalam senyap. Mereka bukan selebriti politik, tapi para penerus mimpi besar BJ Habibie. Mereka sedang melanjutkan cita-cita yang dulu terhenti bersama N-250 Gatotkaca, melalui pesawat baru bernama N-219 Nurtanio.
Nurtanio bukan sekadar proyek penerbangan. Ia adalah simbol keteguhan, bahwa bangsa ini belum menyerah untuk menguasai langitnya sendiri.
1. Dari Gatotkaca ke Nurtanio: Sebuah Perjalanan yang Tidak Terputus
Banyak yang mengira, setelah N-250 berhenti, industri dirgantara Indonesia ikut mati. Padahal tidak. Tim yang dulu membangun Gatotkaca tetap bekerja — sebagian besar masih di PT Dirgantara Indonesia (PTDI).
Mereka menyesuaikan diri, menurunkan skala proyek, tapi tidak menurunkan idealisme. Hasilnya adalah N-219 Nurtanio, pesawat berkapasitas 19 penumpang dengan kemampuan lepas landas di landasan pendek. Pesawat ini bukan sekadar alat transportasi, tapi bukti bahwa teknologi bangsa ini masih hidup dan berkembang.
2. Nama yang Penuh Makna
Nama “Nurtanio” diambil dari Laksamana Muda Udara Nurtanio Pringgoadisuryo, perintis industri penerbangan Indonesia yang gugur di udara pada 1966. Ia pernah berkata, “Jangan sekali-kali meninggalkan industri pesawat terbang.”
Kalimat itu kini menjadi sumpah moral bagi setiap insinyur dirgantara. Mereka sadar, pesawat buatan sendiri bukan hanya soal bisnis, tapi harga diri bangsa. Karena sebuah bangsa besar seharusnya mampu terbang dengan sayapnya sendiri, bukan terus-menerus menyewa sayap bangsa lain.
3. Desain yang Realistis, Tujuan yang Strategis
N-219 bukan pesawat mewah. Ia dirancang sederhana, efisien, dan sesuai dengan kebutuhan Indonesia. Bisa mendarat di landasan pendek di pedalaman Papua, Kalimantan, hingga Nusa Tenggara — daerah-daerah yang selama ini sulit dijangkau pesawat besar.
Inilah bedanya dengan Gatotkaca yang berbasis industri menengah-tinggi: Nurtanio adalah pesawat rakyat, pesawat untuk menghubungkan pelosok negeri, dan pondasi menuju kemandirian teknologi penerbangan yang realistis.
4. Kerja Keras yang Tidak Diketahui Banyak Orang
Sedikit yang tahu bahwa N-219 dikembangkan dengan penuh keterbatasan. Dana minim, tenaga terbatas, namun semangatnya tidak pernah surut. Insinyur-insinyur muda bekerja siang malam dengan satu keyakinan: “Bangsa ini harus kembali terbang.”
Uji terbang pertama dilakukan pada 16 Agustus 2017, tepat sehari sebelum HUT Kemerdekaan Republik Indonesia. Tanggal itu bukan kebetulan — ia simbolis. Bahwa di antara semua keterbatasan, semangat kemerdekaan masih ada di setiap baut dan sayap pesawat ini.
5. Jalan Panjang Menuju Produksi Massal
Meski sudah diuji dan disertifikasi, jalan menuju produksi massal masih panjang. Proses sertifikasi lanjutan, pendanaan, dan dukungan pemerintah masih menjadi tantangan.Tapi inilah bedanya bangsa yang belajar dari sejarah: Habibie membangun Gatotkaca dengan mimpi, Nurtanio melanjutkannya dengan tekad.
Jika pemerintah berani memberi prioritas dan pasar dalam negeri mau mendukung, maka tak lama lagi langit Nusantara akan diisi oleh pesawat buatan tangan anak bangsa sendiri.
Penutup
Nurtanio bukan sekadar kelanjutan dari Gatotkaca. Ia adalah bukti bahwa mimpi yang baik tidak mati, hanya menunggu generasi baru untuk meneruskannya.
Dan bila kelak Indonesia bisa mengekspor pesawat ke luar negeri, maka dunia akan tahu — bangsa yang dulu hanya dikenal sebagai pembeli kini telah menjadi pencipta.
Langit ini milik kita. Dan lewat Nurtanio, Indonesia kembali belajar untuk terbang dengan harga diri dan kemandiriannya sendiri.
Baca juga: Kenapa Indonesia Tidak Membangkitkan Pesawat N-250?
