
Ilustrasi Ai Oleh Editor Aksara Merdeka
Pada tahun 1995, Indonesia pernah mencatat sejarah emas yang kini nyaris terlupakan. Di bawah langit Bandung, pesawat N-250 Gatotkaca mengudara untuk pertama kalinya — pesawat turboprop pertama buatan anak bangsa yang sepenuhnya dirancang oleh BJ Habibie dan tim putra-putri terbaik negeri ini.
Itu bukan sekadar uji coba penerbangan, melainkan simbol bahwa bangsa Indonesia bisa berdiri di atas kakinya sendiri dalam bidang teknologi tinggi.
Namun mimpi itu tidak berlangsung lama. Krisis moneter 1998 menghantam keras seluruh sendi ekonomi, termasuk industri dirgantara. Proyek N-250 harus dihentikan, dan Habibie pun kehilangan dukungan politik serta finansial untuk melanjutkan mimpinya. Sejak saat itu, Indonesia seperti kehilangan arah dalam pengembangan pesawat buatan sendiri.
R80: Mimpi Lama yang Mencari Sayap Baru
Dua dekade berlalu, semangat itu tidak padam. Habibie melahirkan ide baru bernama R80, pesawat turboprop generasi lanjut yang dirancang untuk menyaingi ATR dan Dash-8 buatan luar negeri.
Bedanya, kali ini Habibie tidak ingin sepenuhnya bergantung pada pemerintah. Ia mengajak masyarakat untuk berpatungan, mendukung pendanaan riset R80 melalui program crowdfunding nasional.
Langkah itu bukan semata urusan teknis, tapi gerakan moral — membangkitkan rasa percaya diri rakyat bahwa Indonesia bisa memiliki pesawat buatan sendiri lagi.
Namun, seiring berjalannya waktu, dukungan yang diharapkan belum cukup kuat. Hingga BJ Habibie berpulang pada tahun 2019, proyek R80 masih tertahan di meja desain, menunggu keajaiban yang belum datang.
Warisan yang Diteruskan Ilham Habibie
Kini, cita-cita besar itu diteruskan oleh putra beliau, Ilham Habibie. Dengan tekad yang sama, ia berusaha menjaga warisan ayahnya agar tidak hilang ditelan zaman. Namun perjuangan itu tidak mudah. Tanpa dukungan kuat dari pemerintah, investor, maupun lembaga riset nasional, proyek sebesar R80 terasa berat.
Ilham mungkin mewarisi semangat dan kecerdasan sang ayah, tetapi tidak dengan kekuatan politik dan dukungan industri yang dulu dimiliki Habibie. Di tengah derasnya impor pesawat dari luar negeri, idealisme kemandirian teknologi seperti berjalan sendirian di tengah badai pasar bebas.
Baca juga: Kenapa Indonesia Tidak Membangkitkan Pesawat N-250?
Lebih dari Sekadar Pesawat
N-250 dan R80 bukan sekadar proyek industri, tetapi simbol harga diri bangsa. Negara yang mampu membuat pesawat terbang berarti telah menguasai banyak disiplin ilmu: aerodinamika, elektronika, material, hingga manajemen industri tinggi.
Jika bangsa lain bisa mengembangkan Airbus dan Boeing, mengapa Indonesia tidak bisa melanjutkan Gatotkaca yang dulu pernah terbang gagah di langit sendiri?
Sayangnya, bangsa ini kerap lupa pada mimpinya sendiri. Kita terlalu sibuk menjadi pasar bagi produk luar negeri, dan terlalu cepat menyerah pada tekanan ekonomi global. Padahal, di balik setiap proyek seperti R80, tersimpan peluang besar: lapangan kerja, riset pendidikan, dan kebanggaan nasional yang tak ternilai.
Saatnya Negara Hadir
Mungkin, kini saatnya kita berhenti menjadikan teknologi sebagai wacana seremonial. Negara harus kembali hadir dalam memberi ruang bagi para insinyur dan ilmuwan muda untuk melanjutkan mimpi Habibie. Bukan dengan slogan, tapi dengan kebijakan nyata: riset jangka panjang, insentif bagi industri lokal, dan perlindungan dari intervensi pasar luar negeri.
Seperti Gatotkaca yang pernah menembus langit, mimpi itu belum mati. Ia hanya menunggu bangsa ini untuk kembali percaya pada dirinya sendiri. Karena seperti kata Habibie semasa hidupnya:
“Mimpi itu gratis, tapi mewujudkannya perlu keberanian.”
Baca juga: Pesawat N-219 Nurtanio: Penerus Semangat Gatotkaca
