
Ilustrasi Ai Oleh Aksara Merdeka
Dalam kehidupan modern, transaksi hutang sudah jadi hal biasa. Namun ironisnya, yang sering jadi sumber masalah bukan besar kecilnya jumlah uang, melainkan lupa, salah paham, dan hilangnya kepercayaan.
Itulah sebabnya Islam — sejak 14 abad yang lalu — sudah memberi panduan luar biasa rinci agar manusia tidak saling menzalimi: setiap hutang harus dicatat dan disaksikan. Perintah ini terdapat dalam QS. Al-Baqarah ayat 282, ayat terpanjang dalam Al-Qur’an.
Bukan tanpa alasan Allah menurunkan ayat sepanjang itu untuk satu hal sederhana: urusan hutang piutang. Karena di dalamnya terkandung nilai kejujuran, tanggung jawab, dan perlindungan sosial.
1. Catat Dan Saksikan: Dua Pilar Kejujuran Dalam Transaksi
Allah SWT berfirman:
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermuamalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya… Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki di antara kamu.”(QS. Al-Baqarah: 282)
Ayat ini menegaskan dua hal: pencatatan dan kesaksian. Keduanya bukan hanya formalitas, tapi mekanisme penjaga amanah. Catatan berfungsi sebagai pengingat ketika waktu berjalan, sedangkan saksi berfungsi sebagai penegak kebenaran saat terjadi perselisihan.
Dengan begitu, transaksi tetap jujur, hubungan tetap terjaga, dan tidak ada pihak yang merasa dirugikan.
2. Hikmah Sosial: Menghapus Kecurigaan dan Menumbuhkan Kepercayaan
Sering kali, sengketa terjadi bukan karena niat buruk, tapi karena lupa atau salah paham. Manusia mudah berubah, ingatan melemah, dan emosi bisa memutarbalikkan fakta.
Dengan adanya saksi, semua itu bisa dicegah. Kehadiran saksi bukan berarti saling curiga, justru sebaliknya — tanda bahwa kedua pihak ingin menjaga kejujuran dan kehormatan hubungan.
Islam tidak ingin masyarakatnya hidup dalam prasangka, tapi dalam kejelasan dan keadilan. Saksi menjadi jembatan sosial yang memastikan bahwa setiap janji tetap terjaga walau waktu berlalu.
3. Hikmah Psikologis: Membangun Kesadaran Tanggung Jawab
Dari sisi psikologis, kehadiran saksi juga memberikan efek moral yang besar. Ketika seseorang tahu bahwa ada orang lain yang menyaksikan janjinya, ia cenderung lebih berhati-hati dan berkomitmen.
Ada tekanan moral positif yang membuatnya merasa “diawasi” oleh nilai kejujuran itu sendiri. Inilah bentuk self-reminder dalam Islam: saksi bukan hanya untuk orang lain, tapi untuk meneguhkan niat seseorang agar tidak lupa diri di kemudian hari.
4. Hikmah Spiritual: Allah Menyukai Keadilan yang Tertulis
Rasulullah ﷺ bersabda:
“Sebaik-baik saksi adalah yang menyampaikan kesaksiannya sebelum diminta.” (HR. Muslim)
Artinya, menjadi saksi adalah bentuk kejujuran dan tanggung jawab moral yang tinggi. Saksi tidak hanya melihat, tapi juga siap menegakkan kebenaran ketika dibutuhkan.
Itulah sebabnya Islam menempatkan saksi sebagai pilar penting dalam setiap perjanjian.
5. Mengapa Dua Saksi Laki-Laki?
Sebagian orang modern kadang bertanya, mengapa dua saksi harus laki-laki? Jawabannya kembali pada konteks sosial zaman turunnya Al-Qur’an: laki-laki saat itu lebih sering terlibat dalam transaksi dan urusan publik, sementara perempuan banyak di ranah domestik.
Namun prinsip dasarnya tetap sama — keadilan dan kejelasan. Hari ini, konteks itu bisa diterapkan secara fleksibel: dengan catatan satu orang saksi laki-laki dan dua orang saksi perempuan pada konteks ayat tersebut.
Siapa pun yang adil, jujur, dan memahami perjanjian bisa menjadi saksi, selama ia mampu menjaga amanah. Jadi, bukan soal jenis kelamin, tapi soal kejujuran dan kapasitas moral seseorang.
6. Saksi Adalah Cermin Kesadaran Sosial
Ketika dua orang saling menyepakati hutang tanpa saksi dan tanpa catatan, mereka sedang mempertaruhkan kepercayaan di atas ingatan manusia yang mudah goyah.
Tapi ketika mereka mencatat dan menghadirkan saksi, mereka sedang membangun sistem keadilan kecil dalam lingkup pribadi.
Inilah keindahan ajaran Islam — mengajarkan bahwa tanggung jawab sosial dimulai dari hal sederhana: kejujuran antara dua orang.
Kesimpulan
Perintah untuk menghadirkan saksi dalam hutang bukan sekadar aturan hukum, melainkan cerminan kasih sayang Allah kepada manusia.
Agar kita tidak saling menuduh, tidak saling lupa, dan tidak saling menzalimi. Dengan saksi, janji menjadi kuat. Dengan catatan, amanah menjadi jelas. Dan dengan keduanya, hubungan antarmanusia menjadi lebih tenang, adil, dan diberkahi.
Karena Allah tidak sekadar menyuruh kita berbuat baik, tapi juga mengajarkan bagaimana caranya agar kebaikan itu tidak hilang ditelan waktu.
