
Foto oleh İlker Söyük: pexels.com
Banyak yang mengira kejayaan teknologi baru muncul ketika bangsa Eropa datang membawa revolusi industri. Padahal, jauh sebelum itu, di tanah Nusantara telah berdiri peradaban besar yang mengenal teknik metalurgi, arsitektur, dan astronomi tingkat tinggi. Leluhur kita bukan bangsa bodoh yang hidup dari takhayul, mereka ilmuwan sejati, hanya saja menuliskan pengetahuannya dengan bahasa budaya, bukan bahasa laboratorium.
Namun satu pertanyaan besar tersisa: mengapa semua kecanggihan itu seolah hilang pada masa penjajahan? Jawabannya, karena penjajahan bukan sekadar perampasan tanah dan sumber daya, tetapi juga pemutusan rantai pengetahuan bangsa.
Ketika penjajah memutus rantai ilmu
Penjajahan Belanda selama ratusan tahun bukan hanya menjarah rempah dan emas, tapi juga menghancurkan sistem pewarisan ilmu lokal. Pusat-pusat pengetahuan seperti keraton, padepokan, dan bengkel empu menjadi sasaran pembubaran atau pengawasan ketat.
Ilmu pembuatan keris, gamelan, candi, dan sistem pertanian tradisional tidak lagi diteruskan secara bebas. Para empu — sang ilmuwan sejati — banyak yang meninggal tanpa sempat mewariskan rahasia tempa logam, campuran bahan, atau filosofi di balik karyanya.
Akibatnya, transfer ilmu berhenti di satu generasi. Dan bangsa yang kehilangan rantai pengetahuan, akan kehilangan arah masa depannya.
Dari ilmuwan menjadi pekerja
Penjajahan mengubah cara pandang bangsa terhadap ilmu. Anak-anak pribumi dilatih bukan untuk berpikir, tapi untuk tunduk. Mereka diajarkan menjadi buruh, juru tulis, atau pegawai, bukan pencipta.
Dulu, empu membuat logam dari batu meteor, menakar panas dari warna api, dan menghitung resonansi suara gamelan dengan perasaan. Kini, generasi baru diajarkan bahwa ilmu hanya datang dari Barat. Bahwa orang pribumi cukup belajar secukupnya untuk bekerja di bawah perintah. Di sinilah tragedi itu dimulai — mental pencipta berubah menjadi mental pekerja.
Baca juga: Keris dan Batu Meteor: Antara Langit, Logam, dan Spiritualitas
Ilmu leluhur diwariskan secara lisan
Berbeda dengan dunia Barat yang menulis setiap temuannya, leluhur Nusantara menyimpan ilmu lewat tradisi tutur dan simbol. Pengetahuan diwariskan lewat mantra kerja, serat, atau tata gerak ritual. Ketika penjajahan datang dan budaya lokal ditekan, sistem pewarisan lisan itu pun hilang bersama para penuturnya.
Empu keris tidak meninggalkan buku manual, tapi doa tempa dan etika spiritual. Pembuat gamelan tidak mencatat rumus, tapi menjaga keseimbangan rasa dan nada. Ketika generasi penerus tidak lagi memahami simbol itu, maka hilanglah ilmu bersama bahasanya.
Simbol kebesaran dihapus
Penjajah sadar: untuk menguasai bangsa, hapus dulu kebanggaannya. Mereka membawa naskah kuno ke Eropa, memindahkan artefak penting ke museum kolonial, dan mengajarkan sejarah versi mereka. Kita dibuat percaya bahwa teknologi dan ilmu datang dari luar, sementara warisan nenek moyang dianggap mistik.
Padahal, teknologi logam Nusantara sudah lebih maju berabad-abad sebelumnya. Coba kita pikir — bagaimana mungkin bangsa yang mampu membuat keris berpamor dari logam meteor dan gamelan berfrekuensi harmonik sempurna disebut primitif?
Bangsa yang kehilangan kepercayaan diri
Selama masa kolonial, anak-anak pribumi dijejali narasi bahwa “orang Barat membawa peradaban”. Pelan-pelan, kepercayaan diri bangsa ini terkikis. Kita lupa bahwa sebelum VOC berdiri, kita sudah punya sistem pemerintahan, perdagangan, dan teknologi sendiri.
Dari bangsa pelaut yang menyeberangi samudra dengan bintang, kita dijadikan bangsa pesuruh di tanah sendiri. Dari pencipta dan pengrajin logam yang disegani, kita dijadikan pekerja tambang. Dari pembangun candi bergeometri langit, kita dijadikan buruh proyek.
Inilah penjajahan yang paling berbahaya — penjajahan pikiran.
Ilmu itu belum hilang, hanya tertidur
Namun tidak semua lenyap. Warisan itu masih ada di sekitar kita dalam bentuk seni, alat musik, dan tata ruang desa. Lihatlah gamelan yang tidak bisa sepenuhnya ditiru mesin modern. Perhatikan keris yang punya lapisan logam berpola alami seperti “pattern welding” di Eropa.
Candi Borobudur pun masih berdiri tegak, sejajar dengan piramida Mesir dalam ketepatan astronominya. Artinya, ilmu itu tidak hilang. Ia hanya menunggu untuk dibangunkan kembali
Kesimpulan: Ilmu bangsa ini belum mati
Teknologi leluhur seolah hilang bukan karena bangsa ini bodoh, tapi karena penjajahan membuat kita lupa cara mencintai ilmu sendiri. Namun seiring waktu, kesadaran baru mulai tumbuh.
Generasi muda kembali meneliti gamelan, keris, arsitektur candi, dan menemukan bahwa semua itu menyimpan ilmu sains yang sangat maju.
Kini saatnya kita berhenti merasa kecil. Bangsa yang mampu menciptakan harmoni dari logam, batu, dan jiwa tidak akan pernah kalah oleh waktu.
“Bangsa yang lupa asal ilmunya akan kehilangan masa depannya.Tapi bangsa yang berani menggali kembali kebijaksanaan leluhurnya akan melampaui masa lalu dengan cara yang lebih terang.”
Aksara Merdeka
