
Ilustrasi Ai Oleh Editor Aksara Merdeka
Ada satu kenyataan pahit dalam sejarah manusia bahwa kekuasaan bukan membentuk watak seseorang, melainkan menyingkapkannya. Sering kita lihat seseorang yang tampak sederhana, rendah hati, dan santun sebelum menjabat, tiba-tiba berubah ketika duduk di kursi kekuasaan.
Apakah jabatan benar-benar mengubah seseorang? Atau justru menyingkap siapa dirinya yang sejati?
Kekuasaan Adalah Cermin, Bukan Topeng
Pepatah bijak mengatakan, “Jika ingin mengenal seseorang, beri dia kekuasaan.” Selama seseorang belum memiliki wewenang, ia masih hidup di bawah kendali aturan, atasan, dan opini publik.
Saat ia menjadi pemimpin, semua batas itu lenyap. Ia bebas memutuskan, memerintah, bahkan mempengaruhi nasib banyak orang. Di titik itulah, kekuasaan menjadi cermin yang memantulkan isi hati. Apabila hatinya jernih, kekuasaan akan memantulkan kebijaksanaan.
Namun, jika hatinya kotor, yang tampak adalah keserakahan dan arogansi. Kekuasaan tidak menodai manusia — ia hanya memperbesar noda yang sudah ada.
Kekuasaan Mengubah Persepsi, Bukan Hati
Dalam dunia psikologi sosial, ada istilah power disinhibition effect — efek di mana orang yang memiliki kekuasaan menjadi lebih berani, impulsif, dan cenderung kehilangan empati.
Kekuasaan mengubah cara kerja otak:
- meningkatkan dopamin, yang membuat seseorang lebih percaya diri bahkan pada keputusan keliru.
- menurunkan aktivitas empati, sehingga ia sulit memahami penderitaan bawahannya.
Inilah sebabnya sebagian pemimpin jadi mudah marah, sulit dikritik, dan merasa selalu benar. Padahal dulu, sebelum berkuasa, ia rajin menasihati orang lain agar rendah hati.
Kuasa Itu Ujian Moral, Bukan Hadiah Sosial
Banyak yang melihat jabatan sebagai keberhasilan, padahal sejatinya itu ujian moral. Kekuasaan tidak memberi kebesaran — ia menguji apakah kebesaran itu benar-benar dimiliki.
Pemimpin sejati tidak berubah setelah berkuasa. Sebab prinsipnya sudah tertanam jauh sebelum ia diangkat. Sedangkan mereka yang haus pengakuan, akan menjadikan jabatan sebagai panggung bukan ladang pengabdian.
Ketika seseorang memimpin dengan hati yang tidak matang, kuasa hanya mempercepat kehancurannya sendiri.
Baca Juga: Islam Dan Meritokrasi: Kepemimpinan Berdasarkan Kemampuan, Bukan Keturunan
Perspektif Spiritual: Amanah yang Menelanjangi
Dalam Islam, kepemimpinan bukanlah kehormatan, melainkan amanah besar yang menyingkap isi batin seseorang. Rasulullah ﷺ bersabda:
“Sesungguhnya kepemimpinan itu adalah amanah, dan sesungguhnya pada hari kiamat ia akan menjadi penyesalan dan kehinaan, kecuali bagi orang yang mengambilnya dengan benar dan menunaikan tanggung jawabnya.”(HR. Muslim)
Jabatan bukan tempat mencari kemuliaan, tapi ujian tentang kejujuran dan ketulusan. Mereka yang berkuasa tanpa kesadaran ini, akan tersesat dalam ilusi bahwa dirinya adalah pusat segalanya.
Kuasa Menelanjangi Watak, Bukan Membentuknya
Ketika seorang pemimpin menunjukkan wajah aslinya setelah menjabat, itu bukan perubahan, melainkan pengungkapan. Kekuasaan hanyalah alat yang membuka tirai kepura-puraan.
Maka pertanyaan penting bukanlah:
“Mengapa pemimpin berubah setelah berkuasa?” melainkan “Kalau aku yang berkuasa, apakah aku tetap sama?”
Sebab kebenaran sejati tidak diukur dari ucapan sebelum berkuasa, tetapi dari keputusan ketika memegang kendali.
Penutup: Cermin Kekuasaan
Kekuasaan bukanlah mahkota kebesaran, melainkan cermin yang menelanjangi jiwa. Di dalamnya, kejujuran akan tampak jernih, sementara kepalsuan akan terpantul tanpa bisa disembunyikan.
Kuasa tidak membuat seseorang jahat.
Ia hanya menghapus topeng yang selama ini menutupi wajah aslinya.
