Weton dan MBTI: Dua Cara Berbeda untuk Mengenal Diri

Gambar Oleh Editor Aksara Merdeka

Di era modern, banyak orang mengenal tes kepribadian MBTI (Myers-Briggs Type Indicator). Tes ini populer di dunia kerja, bahkan sering dijadikan bahan penentu kelayakan karyawan.

Pertanyaan-pertanyaan seperti “Apakah kamu lebih suka bekerja sendiri atau berkelompok?” atau “Apakah kamu mengambil keputusan dengan logika atau perasaan?” jadi bagian dari proses seleksi yang dianggap ilmiah.

Namun jauh sebelum MBTI ditemukan, leluhur Jawa sudah memiliki cara sendiri untuk memahami kepribadian manusia — melalui sistem weton, sebuah ilmu yang memadukan waktu kelahiran dengan harmoni alam semesta.

Apa Itu MBTI?

MBTI adalah tes psikologi yang dikembangkan oleh Katharine Briggs dan Isabel Myers, berdasarkan teori kepribadian Carl Jung. Hasilnya membagi manusia ke dalam 16 tipe kepribadian, misalnya:

  • INTJ (logis, visioner, strategis).
  • ENFP (imajinatif, ekspresif, hangat).
  • ISTJ (teratur, realistis, disiplin), dan seterusnya.

Tujuan MBTI bukan untuk menilai siapa yang paling pintar, tetapi untuk membantu seseorang memahami bagaimana dirinya berpikir, berinteraksi, dan mengambil keputusan.

Tes ini sering digunakan di perusahaan, kampus, bahkan aplikasi pencarian jodoh —karena dipercaya bisa menggambarkan kecocokan perilaku dan komunikasi antarindividu.

Weton: Versi Leluhur dari Tes Kepribadian

Sementara itu, weton adalah sistem penanggalan Jawa yang menggabungkan tujuh hari Masehi dengan lima hari pasaran (Legi, Pahing, Pon, Wage, Kliwon). Kombinasinya menciptakan 35 kemungkinan, dan masing-masing dianggap menggambarkan sifat, kecenderungan, dan energi bawaan manusia.

Leluhur Jawa meyakini bahwa manusia lahir tidak kebetulan. Hari kelahiran adalah momentum ketika unsur bumi, api, air, udara, dan eter berkumpul dalam keseimbangan tertentu. Itulah mengapa weton dipakai bukan hanya untuk meramal, tetapi untuk memahami tabiat dan arah hidup seseorang.

Bedanya dengan MBTI yang diisi lewat kuesioner, weton tidak butuh jawaban manusia karena “data” sudah ditulis alam sejak seseorang lahir. Ia membaca potensi dasar sebelum pengalaman hidup mengubah karakter seseorang.

Baca juga: Mengapa Weton Jodoh Kadang Tepat, Kadang Tidak?

Dua Ilmu, Satu Tujuan

Jika MBTI menilai siapa aku sekarang, maka weton menyingkap siapa aku sejak awal diciptakan.

Keduanya berbeda metode, tapi memiliki tujuan yang sama: menuntun manusia mengenali dirinya sendiri agar bisa hidup selaras dengan lingkungan.

Leluhur dulu tidak punya laboratorium psikologi, tetapi mereka punya kepekaan batin dan observasi alam yang luar biasa. Selama berabad-abad, mereka mencatat perilaku manusia berdasarkan waktu kelahiran, lalu mengajarkan cara hidup yang seimbang melalui ajaran eling lan waspada — sadar terhadap waktu, sadar terhadap diri, dan sadar terhadap perbuatan.

Dari Weton ke MBTI

Menariknya, di zaman modern kita kembali mencari apa yang dulu sudah ditemukan. Kita rela duduk berjam-jam mengerjakan tes kepribadian, padahal hakikatnya sama: kita ingin mengenal diri sendiri agar tidak salah melangkah.

Perbedaannya hanya cara. MBTI memakai sains dan statistik, weton memakai filosofi dan intuisi. Satu berbasis data psikologi, satu berbasis kebijaksanaan spiritual. Dan keduanya saling melengkapi — karena tidak ada manusia yang hanya bisa dijelaskan dengan angka.

Kesimpulan

Weton bukan mitos, MBTI bukan mutlak. Keduanya adalah cermin agar manusia mengenal dirinya dengan lebih jujur. Yang satu dibangun oleh laboratorium modern, yang lain diwariskan oleh kebijaksanaan leluhur.

Mungkin bedanya cuma bahasa. Kalau MBTI berkata, “Kenali dirimu lewat tipe kepribadianmu.” Maka leluhur Jawa sudah berkata jauh sebelumnya:

Sing kenal awake, bakal ngerti uripe.

(Siapa mengenal dirinya, akan paham arah hidupnya.)

Baca juga: Asal Usul Weton dan Filsafat di Baliknya

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses

Scroll to Top