
Ilustrasi Ai Oleh Editor Aksara Merdeka
Pendahuluan: Zakat di Masa yang Penuh Keberkahan
Dalam sejarah Islam, sistem zakat pernah mencapai masa keemasan yang luar biasa.Itu terjadi pada masa pemerintahan Khalifah Umar bin Abdul Aziz, pemimpin yang dikenal adil, jujur, dan rendah hati. Pada masa beliau, zakat tidak hanya berhasil menghapus kemiskinan, tetapi juga mengubah cara pandang masyarakat terhadap harta. Banyak daerah yang melaporkan tidak ada lagi fakir miskin yang mau menerima zakat, karena seluruh kebutuhan mereka sudah terpenuhi.
Fenomena ini bukan dongeng, melainkan fakta sejarah. Dan kini, muncul pertanyaan penting:
Bisakah negara modern seperti Indonesia, yang mayoritas penduduknya muslim, meniru keadilan dan keberkahan zakat di masa Umar bin Abdul Aziz?
Zakat dan Jiwa Keadilan Umar bin Abdul Aziz
Rahasia keberhasilan zakat di masa itu bukan hanya pada sistemnya, tapi pada pemimpinnya. Umar bin Abdul Aziz menjalankan kekuasaan bukan untuk dirinya, melainkan untuk rakyat. Ia menolak hidup mewah, mengembalikan harta rampasan yang bukan haknya, dan memastikan setiap amil zakat bekerja dengan jujur.
Beliau berkata:
“Aku tidak akan kenyang sebelum rakyatku kenyang, dan tidak akan berpakaian sebelum rakyatku berpakaian.”
”Dengan teladan seperti itu, rakyat percaya penuh pada pemimpinnya. Zakat pun menjadi bukan sekadar kewajiban, tapi gerakan sosial penuh keikhlasan. Rakyat kaya merasa bangga bisa berzakat, rakyat miskin merasa terhormat saat dibantu.Tidak ada rasa iri, tidak ada kecurigaan. Yang ada hanyalah rasa syukur dan saling tolong-menolong.
Potensi Besar Zakat di Indonesia
Indonesia adalah negara dengan potensi zakat terbesar di dunia. Menurut data resmi BAZNAS, potensi zakat nasional mencapai sekitar Rp 300 triliun per tahun. Namun yang baru berhasil dikumpulkan hanya sekitar Rp 17 hingga Rp 20 triliun, atau sekitar 6–7% saja.
Artinya, ada 93% potensi kebaikan yang belum tergali. Padahal, jika seluruh umat Islam di Indonesia menunaikan zakat secara teratur dan sistematis, kemiskinan bisa berkurang drastis tanpa harus menambah beban pajak.
Sayangnya, yang masih jadi kendala utama bukan semangat umatnya, tapi kepercayaan terhadap lembaga pengelola dan integritas para pemimpin.Banyak yang ragu: apakah zakat mereka benar-benar sampai ke penerima? atau justru berhenti di birokrasi.
Baca juga: Mengapa Sahabat Nabi Saling Menolak Jadi Pemimpin: Keteladanan Akhlak di Balik Kekuasaan
Tantangan di Negara Modern: Indonesia Bukan Negara Islam
Perlu diingat, Indonesia bukan negara Islam, tapi negara dengan mayoritas muslim. Artinya, pemerintah tidak bisa memaksa seluruh warga untuk berzakat. Namun, pemerintah bisa mendorong sistem zakat menjadi lebih modern, efisien, dan transparan.
Zakat bisa diintegrasikan dengan sistem pajak. Contohnya: pembayaran zakat bisa mengurangi kewajiban pajak penghasilan (tax deductible).
Lembaga zakat harus diaudit secara terbuka dan bisa diakses publik. Selain itu, penyalurannya perlu diarahkan untuk pemberdayaan produktif, seperti modal usaha, pelatihan kerja, dan beasiswa anak miskin.
Jika hal-hal ini berjalan baik, umat akan percaya —dan kepercayaan itulah yang menjadi bahan bakar utama kebangkitan sistem zakat nasional.
Pelajaran dari Umar bin Abdul Aziz untuk Indonesia
Kunci keberhasilan zakat di masa Umar bin Abdul Aziz ada pada tiga hal:
1. Pemimpin yang adil dan amanah. Rakyat akan meniru moral pemimpinnya.
2. Amil zakat yang profesional dan transparan. Pengelolaan zakat harus seperti manajemen ekonomi modern, bukan sekadar sosial.
3. Distribusi berbasis data. Penerima zakat tidak hanya diberi konsumsi, tapi dibantu hingga mandiri. Dengan prinsip seperti itu, zakat bisa menjadi alat pemerataan ekonomi, bukan sekadar ritual tahunan yang hilang tanpa dampak nyata.
Kesimpulan: Menghidupkan Kembali Jiwa Zakat
Zakat adalah sistem ekonomi ilahi yang berpihak pada kemanusiaan. Ia lahir dari kesadaran, bukan paksaan. Jika dijalankan dengan niat tulus dan kepemimpinan yang adil, zakat bisa menjadi kekuatan sosial yang menghapus kemiskinan seperti masa Umar bin Abdul Aziz.
Indonesia punya semua modal itu — penduduk muslim terbanyak di dunia, potensi ekonomi besar, dan budaya gotong royong. Yang dibutuhkan hanya satu hal: pemimpin yang jujur dan amanah.
“Jika pajak membuat rakyat memberi karena takut,maka zakat membuat rakyat memberi karena cinta.”
Dan ketika cinta menjadi dasar ekonomi,maka kemakmuran bukan lagi utopia — tapi kenyataan yang bisa kita bangun bersama.
Baca juga: Bangsa yang Tidak Menulis: Kenapa Indonesia Dulu Jarang Mencatat Sejarah Dunia
